Selasa, April 16, 2013
Jumat, April 12, 2013
Automatic Baby!
Yang melatari tulisan ringan ini adalah stumble across-nya
saya pada kenyataan akan adanya rivalitas di antara REM dan U2 (meskipun mungkin semata hadir di benak para
fansnya saja). Secara pribadi band yang saya sebut di awal
adalah musik utama dalam hidup saya, sedang yang kedua: I barely listen to
their music. Setelah saya coba dengar beberapa lagu besutan U2, saya yakin saya
tidak bisa membuat review yang unbiased. Tapi yang bisa saya pahami kemudian,
hanya sebuah ketersadaran mengenai kenapa saya amat menggemari musik Peter Buck
dan kawan-kawan. Karena kalaupun saya hendak mendengarkan U2 lebih jauh, saya
pikir saya tetap akan menjuarakan REM di atas mereka. Bukan karena saya temui musikalitas
REM ada di atas U2, namun
lebih karena musik produksi REM kompatibel dengan karakteristik manusia macam
saya.
REM is nothing but subtle and blurry, sedangkan U2 adalah
epitome dari kelugasan dan kepercayaan diri. Bono akan selalu tampil bersinar
di bawah spotlight, lantang menyanyikan keyakinannya; sedang Stipe akan selalu
menjadi Michael yang awkward dengan kostum aneh yang tak pernah berdamai dengan
status selebritisnya. Beberapa tahun yang lalu ketika menemukan video REM
pertama kali tampil dalam sebuah acara talkshow membawakan "So Central Rain", saya
merasa sangat terhubung dengan pribadi Stipe yang terduduk malu di belakang
David Lettermen. Sebelum lagu dimulai, Letterman malah mewawancarai Peter
Buck—the guitarist not the vocalist! Kentara sekali Michael Stipe sedang menghindari
perhatian publik tertuju pada dirinya.
U2 adalah band yang hebat dan musisi legendaris, no point
debating the fact. Tapi sebagai fans REM saya tak bisa membiarkan harga mereka tergerus
nama besar Band Irlandia tersebut. Jika harus dibandingkan, REM memang quirky
ketimbang U2 yang keren dan outspoken. Tapi mungkin di situlah REM mengambil hati
para fansnya. Akan sangat mudah mengkodifikasi lirik-lirik lagu garapan Bono,
tapi tak seorang pun bisa menangkap dengan pasti maksud Stipe saat dia menggumamkan
bait demi bait lirik yang ia susun. Siapa sih yang bisa mengartikan “gardening
at night” atau kenapa “aluminum tastes like fear”? Stipe membongkar sistem
makna tiap kata seenak perutnya, tapi di situlah saya rasa kekuatan REM; kita
para apresiator bebas memaknai lirik mereka yang “hyper-ambiguous.”
Di saat REM menyuarakan
keyakinan politik mereka, ambiguity never left their music. Salah satu album
favorit saya, Document, adalah album yang
cukup sarat isu politik, namun masih tersampaikan dengan gaya mereka yang kabur
dan kaya idiom. Favorit saya "Disturbance at the Heron House", merupakan pengejawantahan benak Michael Stipe saat ia
mengkorelasikan fakta dan fiksi antara pemerintahan Ronald Reagan dengan kisah
garapan George Orwell: "Animal Farm." Tak
seorang pun yang dapat mengambil kesimpulan ini jika tak bertanya langsung pada
si empu lagu. Coba dengar saja: ”The gathering of grunts and greens. Cogs and
grunts and hirelings. A meeting of a mean idea to hold.” Bandingkan dengan Seconds garapan U2 yang sangat eksplisit
bercerita tentang perang nuklir di era Reagan: “USSR, GDR, London, New York,
Peking. It's the puppets, it's the puppets. Who pull the strings.”
Tapi di luar kecenderungan mereka dalam bergaya di lirik
lagu, musik tetaplah musik yang dinilai oleh telinga bukan oleh daya nalar kita.
U2 tetaplah musisi hebat. Tak bisa dipungkiri musik mereka diterima telinga
dengan sangat baik. Saya yang awam teknik musik, mengandalkan sense dalam
menilai mana musik baik dan tidak; dan harmonisasi nada yang dibawakan U2 dinilai telinga saya sebagai produk band maestro.
Jika dibandingkan dengan mereka, REM terdengar inkonsisten. Selalu ada lonjakan
nada atau belokan bait yang tak disangka-sangka dalam lagu-lagu REM. Tapi, kembali,
justru quirkiness semacam inilah yang membuat REM saya cintai sepenuh hati. Mereka
bereksperimen dengan berbagai alat musik yang dianggap tabu oleh Rock pada zamannya (mandolin
dalam Losing my Religion, misalnya). Mungkin kejutan-kejutan semacam inilah
yang menjadikan REM berbeda.
U2 boleh jadi mencetak jauh lebih banyak rekor penjualan dan
bersuara dalam politik lebih lantang dibanding band kampung asal Georgia AS,
ini, tapi tak seorang pun yang bisa menafikan kenyataan bahwa REM-lah yang
bertanggungjawab akan munculnya frasa “alternative
rock,” dan menjadikannya terma musik yang kanon.
Jika hendak dianalogikan “pertarungan” antara dua band
legenda ini layaknya rivalitas antara Star Wars dan Star Trek. Kesemua produk
kultur ini sama-sama memiliki fandom yang tidak kecil, dan konon seseorang
tidak bisa menyukai Star Wars sekaligus menyukai Star Trek. Begitupun dengan
band yang sedang kita obrolkan ini: you either an REM fans or a U2 fans. U2 yang
lugas dan dramatis mewakili Star Wars dan REM yang rumit dan artistik mewakili
Star Trek.
Tapi semua persaingan ini cuma meletup dalam benak kita,
para fans. U2 dan REM adalah band anggun yang tak peduli dengan kompetisi
penjualan rekaman atau persaingan mengenai seberapa penting isu yang mereka
usung dalam musik. Sama seperti judul tulisan ini, keduanya bahkan pernah
tampil bersama dalam sebuah supergroup: Automatic Baby. Ah ya, kita para fans hanyalah
anak-anak kecil yang bergelayut manja pada patron kita. Mati-matian membela
nama baik mereka dalam persaingan yang tak pernah hadir di kenyataan…
Langganan:
Postingan (Atom)