Laurent
Millet: Poetic Complexity
Menyimak karya Laurent Millet dalam pameran“Drawing Shadows to Earth” impresi yang mungkin muncul di benak pemirsa
adalah kesan dingin dan kesederhanaan visualnya. Namun jika pemirsa merujuk
pada judul karya, atau lebih jauh lagi merujuk pada statementsang seniman, maka akan ditemui kenyataan bahwa karya
Millet merupakan hasil dari jalinan gagasan yang sama sekali tidak sederhana. Menyimak
karya-karya fotografi Millet pada pamerantahun 2010:“The Last day of Immanuel Kant”,hadir foto dari
objek-objektridimensional yang tampak tak memiliki kaitan dengan judul pameran.Namun
jika seseorang dengan cermat mengkorelasikan judul dengan konstruk visual
karya, maka akan ditemukan jejak dari kerumitan gagasan yang dibangun Millet. Pameran
yang disebut di atas merupakan judul dari pseudo-biography
Immanuel Kant karya Thomas de Quincey.Kekaguman Millet akan karya literatur
tersebut, berjalinan dengan ketajaman riset dan kapasitas artistiknya, terwujud
dalam bentuk karya fotografiyang subtil, namun tetap menunjukkan sensibilitas
visual.
Kegemaran Millet dalam membangun karya yang
mereferensi berbagai sumber (sains, filsafat, kecenderungan seni para
pendahulunya, fiksi, dsb.) berkait erat dengan aspek kognitif dalam kesenian.Meskipun
secara awam karya seni sering direduksi sebagai objek sensual (mengandalkan
kemampuan sensing)semata, namun premis
tersebut mereduksi nilai seni yang sesungguhnya.Suatu objek seni memiliki
sistem pemaknaan yang berkait erat dengan aspek kognitif baik dari sisi seniman
(sebagai enconder makna) maupun apresiator (sebagai decoder makna).Karena pada
hakikatnya kegiatan “melihat” bukanlah sebuah aktivitas perseptual yang
dilakoni indera penglihatan saja. Lebih dari itu kegiatan “melihat” juga
melibatkan aspek konseptualisasi yang akan bergantung pada sistem pengalaman
dan pengetahuan si subjek itu sendiri. “Perception
doesn’t just provide data picked up by the senses; it also plays an active role
in conceptualization.”[i]Data
visual yang dicerap seorang pemirsa saat melihat sebuah karya seni dimaknai
bukan oleh mata sebagai indera penglihat, namun melalui mekanisme pemaknaan di
dalam otak.Kita memberi makna pada suatu objek dengan menarik data-data visual
dari pelbagai wilayah di otak yang sebelumnya kita konstruksikan sebagai suatu
konsepsi, skemata, skrip kognisi, dan bentuk lainnya.[ii]
Karenanya pembacaan suatu karya seni akan bergantung pada sistem pengetahuan si
seniman sekaligus penikmatnya.
Bisa dikatakan karya-karya Millet erat
kaitannya dengan variabel kognitif dalam seni rupa. Sebagai seorang encoder—pemroduksi kode-kode—Milletasyik
menghimpunlapisan demi lapisan pengetahuan
yang ia anggap penting saat membangun karyanya.Jika dibandingkan dengan
kecenderungan berkarya seniman Indonesia, jalur berkarya Millet bisa dibilang cukup
berbeda karena melibatkan aspek pengetahuan yang cukup rumit.Bahkan keputusan finalisasi
karya dalam bentuk foto pun merupakan salah satu pembangun sistem gagasan
Millet yang padat topik. Dalam kesempatan wawancara, Millet menyatakan bahwa ia
memang lebih memilih bekerja dengan citraan (foto) alih-alih menampilkan objek
ciptaannya secara langsung. Bagi Millet setiap objek yang ia buat memiliki potensi
citraanyang kuat dengan berbagai “fungsi” yang bisa ia manfaatkan. Fungsi dalam
hal ini adalah fungsi yang berkaitan dengan aspek visual dan physical property si objek, yang bisa dikaitkan
dengan objek-objek lain yang Millet anggap menarik dan penting.Dalam satu
kesempatan pameran berjudul Petites
Machines a Images misalnya, konfigurasi objek-objek yang Millet susun di
pantai berelasi secara optis dengan lanskap pantai. Ketika objek-objek ini ia
tembak dengan menggunakan kamera ber-eksposur tinggi, yang dihasilkan adalah
foto berefek dwi-dimensional yang tampak bagai kertas bertorehkan
coretan-coretan pena.
Berkaitan dengan penggunaan medium
fotografi, Millet memang tak menyasar visualisasi yang “extravaganza” seperti
yang dilakukan kebanyakan perupa kontemporer.Alih-alih meminjam simbol dan
citraan yang berasal dari “grand-narration”nya
seni kontemporer—seperti popular culture,
bahasa media/iklan, dan bentuk-bentuk komoditas—Millet justru lebih suka
menghasilkan citraan yang bernuansa (nuanced)
lamat-lamat (subtle).Ambil
contohkarya “Drawing Shadows to Earth”
dalam pameran inimisalnya. Karya foto yang menampakkan interaksi antara
objek-objek rektangular berwarna hitam dengan gunungan lumpur ini, merupakan
karya yang me-reaktivasi karya seniman earth-art
Sol Lewwit (:“The Burried Cube”), gaya
konstruktivist Casimir Malevich, dan kecenderungan
antidrawing-nyaRobert Morris. Dalam
hal ini Millet tengah berupayamentranskripsi gayatiga seniman besar tersebut,
dalam konteks, jenis material, dan dimensi waktu yang baru. Konteks yang hendak
dibangun Millet berkaitan dengan kondisi yang ia lihat di Indonesia, yakni
kompleksitas relasi antara aspek-aspekindustri, natural, dan kultural di negeri
ini. Berkaitan dengan olah citraan,“Drawing
Shadows to Earth” juga menghadirkan
permainan optis antara material lumpur dengan pelbagai objek rektangular hitam
yang hadir di dalamnya. Terkadang objek hitam tersebut tampak bagai lubang
geometris di tengah kubangan lumpur, terkadang bagai sebuah bangunan mini yang
tumbuh begitu saja dari dalam tanah, namun juga lebih sering hadir sebagai
objek absurd yang seolah “tak ada urusan” untuk hadir di tengah tumpukan lumpur.
Millet sendiri tak ingin menggiring persepsi pemirsa dalam pengertian yang tunggal.
Merujuk kata-katanya dalam wawancara ia menyatakan: “...these black boxes can be seen several ways: geometrical shape,
architecture, little caves, sculptures, industrial shape, spaces, or camera
obscuras.”
Karya seorang Laurent Millet memang merupakan
sebuah complex intersectionantara
berbagai aspek dari berbagai cabang ilmu.Karya objek berjudul “Black Maria” adalah salah satu
contohnya.Karya yang bisa disebut sebagai sebuah homage bagi Thomas Alva Edison ini, diinspirasi oleh studio sinema pertama
di dunia (bernama black Maria) dan
pabrik separator bijih besi—yang keduanya digagas si raja paten, Edison. Secara
perseptual pemirsa digiring Millet untuk menyaksikan bangkitnya Black Maria dan ore separator yang dibangun Edison di masa lalu.Millet membakar
struktur karyanya ini terlebih dahulu, untuk mencapai efek hitam legam seperti
halnya bangunan Black Maria-nya
Edison.“Black Maria” Millet terdiri
dari replika black Maria milik Edison yang ditempatkan saling bertolak belakang
dengan replika ore separator. Kedua
replika bangunan tersebutbertumpu pada satu platform yang sama. Struktur ini
direbahkan di atas timbunan pasir hitam seperti kapal terdampar.
Tak seperti kebanyakan karyanya yang secara
visual lebih banyak mempermainkan aspek formal, “Black Maria” tampak lebih representasional.Upaya replika, meskipun
tidak secara langsung, dan juga metode menghadirkan objek secara
langsung—alih-alih menampilkan citraan objek, menjadikan karya Millet ini
tampak berbeda dengan kecenderungannya selama ini.Namun aspek penyatuan
berbagai layer persoalan dalam berkarya masih sangat kentara terasa.Kekaguman Millet
terhadap sosok Edison, terhadap persoalan citraan, dan juga sorotan persoalan
industri, alam (lingkungan hidup), dan kultur manusia dalam proyeknya kali ini;
saling berkelindan dan tersimpul dalam “Black
Maria” yang dalam legam dan dimensinya tampak padat dan kokoh.
Karya berjudul “Untitled: Mount Merapi” bisa ditempatkan sebagai penanda bagi
aspek “lokasi” dalam keseluruhan proyek yang Millet garap kali ini. Millet menyatakan
bahwa iaingin membangun korelasi antaraCrazzanes
(lokasi di Perancis yang menarik minat Millet di proyek sebelumnya) dengan
lokasi yang ia temui di Indonesia. Merapi—atau tepatnya ladang lahar
Merapi—lebih kurang memang mirip dengan Crazzanes, di Perancis, yakni dalam keberadaannya
sebagai situs ekskavasi material tambang; jika Merapi menyediakan pasir, maka
Crazzanes memasok batu kapur. Satu lagi yang kemudian membuat Millet memilih
dua situs ini sebagai objek fasinasinya, yakni pertemuan antara aspek industri,
kultur, dan natural di kedua lokasi, telah menyisakan jejak bentuk yang dapat
dinikmati secara visual. Di ladang lahar Merapi, sisa kerukan penambang dan
tumpukan pasir telah membentuk topografi yang unik. Bentuk-bentuk seolah
ngarai, lembah, dan tebing; mengacaukan persepsi akan dimensi dan ruang bagi
para pemirsa karya Millet ini. Ke-10 karya dalam bentuk foto ini, dibuat Millet
dengan pendekatan dokumentatif, sehingga tampak apa adanya, jauh dari
kesanmencari efek estetis dan dramatis.
Berkaitan dengan ketertarikannya dalam olah
image dan dunia sinematografi, Millet juga tentunya terbiasa dengan medium
video. Pada karyanya “Crazzanes”
Millet masih mengolah gagasan akan kompleksitas interaksi antara alam,
industri, dan kebudayaan. Pada “Crazzanes”
Millet dengan cermat menggugah pemirsanya akan aspek displacement atau ketakhadiran. Pada video ini kita digiring
memasuki ceruk seolah-terowongan, yang terbentuk dari kegiatan ekskavasi batu
kapur.Ceruk-ceruk berbentuk geometris ini secara signifikan menandai hadirnya
aspek kultural (baca: campur tangan manusia) di sebuah situs yang aspek
naturalnya masih sangat mendominasi.Gua berbentuk rektangular seolah berjalin
kelindan dengan vegetasi yang dengan subur menyelimuti rongga-rongga tebing.Efek
displacement dan ketakhadiran muncul
saat kita menyadari bahwa rongga-rongga di tebing ini adalah material yang
dikeruk oleh industri untuk kepentingan kultural manusia.Millet mengambil idiom
carving dalam membangun sebuah patung
untuk menjelaskan ketertarikannya dalam mengobservasi Crazzanes. Logika membentuk dan membuang material yang tidak
diperlukan dalam memahat patung, ia sejajarkan juga dalam proses pembentukan
gua-gua di Crazzanes.
Pada karya videonya yang lain: “Equivalence”, titik berat Millet adalah pada fasinasinya
terhadap citraan dan berbagai isu dalam sains, fislsafat, dan dunia bahasa.
Dalam video ini, Millet menggabung
berbagaifootage yang ia himpun secara
pribadi dari internet atau sumber lainnya. Selain aspek citraan, Millet juga
menghimpun berbagai isu yang memang mencirikan karya-karyanya selama ini;
seperti misalnya penyebutan sosok dominan di dunia sains dan filsafat (dalam
hal ini Goethe); keterlibatan aspek visual-formal yang memberikan efek
perseptual tertentu bagi para pemirsanya (mekanika fluida dan gerak ombak
misalnya) ; juga diangkatnya isu-isu yang menjadi objek ketertarikannya (dalam
hal ini aspek bahasa, simbol, dan sains). Relasi yang dibangun dalam “Equivalence” di antaranya penghimpunan
imaji dan footage mengenai observasi
Goethe akan bentuk dan material awan; gerak lautan dan adegan ledakan saat
Perang Dunia 2;perang membongkar bahasa sandi antara Inggris dan Uboat milik
Jerman ;isu Alan Turing yang menemukan metode algoritma dalam pembangunan
komputer pertama di dunia; pengalaman Nasa dan bagaimana para ilmuwannya
berbicara mengenai objek riset mereka; berbagai adegan metereologis; dan juga
beberapa footage dari laboratorium
mekanika fluida di Perancis.
Kesemua karya yang dihadirkan dalam pameran
ini sedikit banyak memberi gambaran mengenai sosok Millet yang intelektual dan
berdedikasi terhadap perannya sebagai seorang seniman.Fitur-fitur ini inheren juga
dalam kehidupannya di luar berkesenian. Saat ia mengujungi India beberapa tahun
yang lalu misalnya. Kecenderungan intelektualnya untuk berpaling pada buku-buku
dan berbagai informasi saintifik menjadi pilihan untuk menjawab kegelisahannya saat
berinteraksi dengan kultur yang serba asing. Dengan berbekal ketakjuban pada
pusat observasi di Jantar Mantar, Jaipur; juga dengan panduan berupa buku De
Rerum Natura-nya Lucrezia, Millet berhasil menggubah karya yang bertitik berat
pada konsep movement manusia.
Sosok Laurent Millet memang bisa dikatakan sebagi
sosok yang idiosinkratik jika dibandingkan dengan seniman kontemporer
Indonesia.Keasyikannya dalam mencipta objek dengan kelindan makna yang rumit, tumbuh
dari upayanya untuk percaya diri terhadap karya yang dihasilkan. Dalam
kesempatan wawancara Millet menyatakan bahwa salah satu problem berkarya rupa
adalah ketakyakinan seniman pada objek ciptaannya, yang biasanya berakibat sang
seniman memberikan penjelasan terlampau jauh. Mungkin patologi seperti inilah
yang menjangkiti kebanyakan seniman muda saat ini.Penjelasan verbal yang overflowing sesungguhnya merupakan
langkah yang kurang strategis, karena akanmembatasi kemungkinan pembacaan/pemaknaan
yang lebih kaya.
“This is part of my confident, to say that my object
can be read in different layers… the object in itself is full of possibilities.
The more you said about it the more you restraining it. But you can’t also
leave it as it is…to say nothing… So its really difficult to find the balance…
we talked about it very often, me and my student, because sometimes we said too
much, so it killed the possibilities (of the artwork)…”[iii]
Kebiasaan Millet mengolah sekian banyak
subject-matter dari berbagai cabang pengetahuan mungkin menambah resiko kian
minimnya kemampuan baca pemirsanya.Namun hal inilah yang menantang Millet untuk
lebih percaya diri terhadap objek-objek ciptaannya.Lagi pula rumitnya sistem
gagasan yang dibangun Millet ternyata tak lantas membuat dirinya menjadi lumpuh
dalam mengolah sensualitas bentuk karya.Dalam kematangan pengalamannya, Millet
mampu menghasilkan karya dengan ragam formal yang appealing secara visual, meskipun konsepsi gagasannya cukup rumit
dengan multi-lapis persoalan.
Karya Millet yang rumit dengan nuansa
visual yang lamat-lamat ini, menjadikan karyanya bagai suatu kompleksitas yang
puitis (Poetic complexity).Upaya
untuk membaca dan memaknai karya-karyaMillet mungkin akan menjadi tantangan
tersendiri bagi publik seni Indonesia. Memahami metode berkarya Millet ibaratnya
sebuah kesempatan untuk memicu sofistikasi berpikir dan pembacaan yang lebih komprehensif
terhadap karya seni. Sebab selama ini publik seni Indonesia lebih sering
dimanjakan oleh karya-karya yang secara visual tampakobvious, extravaganza, dan over-ornate.Perlu
disadari keluasan pengetahuan, keterbiasaan meriset dan kegemaran menghimpun
informasi menjadi modal utama untuk membangun diskursus seni rupa yang lebih
canggih.
Asmudjo Jono Irianto
Dinni Tresnadewi Nf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar