Salah satu essay yang saya kira setelah penulisannya memberikan sensasi: "A good job well done, you!" Meskipun setelahnya penulis utama menginformasikan bahwa ada beberapa pihak yang cukup menyerang karena sekadar satu pilihan kata yang terlalu simbolik, but nevertheless I think the essay is okay, probably the best I've written yet... Written around late June 2013... The exhibition was held on early July...
Disthing: Objects of Discontentment
Salah satu
penanda yang dengan mudah dapat membedakan karya seni rupa modern dengan karya
seni rupa kontemporer, adalah validasi masing-masing diskursus dalam menentukan
nilai estetis suatu karya. Jika di masa modern validasi suatu karya dilindungi
dengan sangat ketat melalui batasan kanvas atau jenis material yang digunakan
dalam karya patung; atau bahkan ditentukan secara hegemonstik oleh segelintir
kritikus; maka validasi karya seni seni rupa kontemporer bisa dikatakan
merupakan praktik “heretic” bagi
mereka yang percaya pada supremasi seni modern. Dinyatakan demikian karena
validasi seni rupa kontemporer bisa direduksi hingga semata penempatan objek
apapun ke tengah ruang galeri atau musium.
Jika hendak
menjejaki moyang seni rupa kontemporer, yang mewariskan karakter sedemikian
demokratis, kita akan sampai pada satu event di mana sebuah urinary (pispot) ditempatkan di tengah
galeri oleh seorang Marchel Duchamp. Strategi Duchamp ini sedikit banyak
menggoyahkan keyakinan banyak orang, sehingga tergelitik untuk melontarkan
pertanyaan basis mengenai seni rupa: Bagaimana suatu objek dinyatakan sebagai suatu
karya seni?
Puluhan
tahun setelah kasus Richard Mutt—coretan nama yang secara acak diterakan
Duchamp di permukaan urinary—mengegerkan
dunia seni rupa modern, baru di kisaran tahun 60-an lah langkah berani Duchamp,
memberi efek berarti—terutama dalam menyisihkan hegemoni seni rupa modern. Seni
saat itu kemudian turun dari “pedestal” untuk merangkul berbagai variabel hidup
keseharian.Ketika otonominya ditanggalkan, seni rupa pun tampil dengan
kode-kode visual yang baru, yang tentunya mereferensi kehidupan di luar seni sendiri.
Kompleksi seni yang sedemikian rupa berimplikasi pada bentuk seni yang selalu contingent pada referensinya; karena ituvocabulary seni rupa kontemporer pun selalu
merujuk pada berbagai wacana dominan, yang mempengaruhi kultur manusia
kontemporer secara lebih luas.
Saat kultur
kontemporer dikendalikan secara dominan oleh kapital, maka seni pun tampil
sebagai representasi kondisi yang ada, pun sebagai salah satu elemen kebudayaan
yang juga dikendalikan kapital.Logika komodifikasi pun turut mengendalikan
wilayah seni rupa, memulasi wajah objek-objek yang terkategori sebagai “karya
seni rupa kontemporer”, dengan berbagai elemen kritik, perayaan, dan rujukan
atas realitas yang terjebak mekanisme komodifikasi.Sebagai konsekuensinya,
karya-karya seni rupa kontemporer memboyong produk-produk komoditas ke dalam
wilayah wacana seni rupa.Image dan simbol dari film, iklan, dan kemasan produk
retail naik ke atas kanvas dan masuk ke ruang galeri.Ketika memasuki wilayah
galeri atau musium, maka objek, simbol, dan citraan dari wilayah keseharian ini
pun terotomasi mengalami transaksi nilai, sehinggaexchange value-nya mengalami amplifikasi nilai.
Jeff
Koons, Ashley Bickerton, dan Haim Steinbach mungkin tiga dari banyak seniman
kontemporer yang cukup prominent memboyong
aspek dunia komoditas, politik ekonomi kapital, dan berbagai representasi
produksi-massal ke ruang galeri.Karena kecenderungan yang mereka kembangkan
inilah, istilah Commodity Sculpture
mendapatkan tempat dalam kosakata seni rupa kontemporer. Strategi Jeff Koons
dalam menempatkan dua buah Vacuum Cleaner
secara bertumpuk dalam sebuah casing plexiglass
(New Shelton Wet/Dry Double Decker, 1981);
atau yang dilakukan Haim Steinbach pada karyanya Related and Different (1985), yangmenghadirkan sepasang sepatu Air Jordan bersebelahan dengan lima buah
cangkir plastik berwarna emas di atas rak formica;
sedikit banyak mengingatkan kita pada tradisi ready mades yang dipelopori Marchel Duchamp di awal abad-20. Namun
meskipun secara genealogi Commodity Sculpturememang
berakar pada rute Duchampian, namun
sasaran dan karakteristik kedua kecenderungan ini sebenarnya berbeda.Jika pada
tahun 1914 Marchel Duchamp menempatkan bottle
rack dengan maksud mempertanyakan ulang aesthetic
value sebuah karya seni, maka Jeff Koons dan rekan-rekannya menempatkan berbagai
benda kesehariandi ruang galeri sebagai upaya untuk menafikan fungsi keseharian
si benda, dan mengubah mekanisme exchange
value (atau exhibition value jika
merujuk pada terma Walter Benjamin), menjadi sign exchange value.
“…most Duchamp’s
readymades proposed that object of use value be substituted for object of
aesthetic and/or exchange/exhibition value: a bottle rack in place of a
sculpture or, reciprocally a Rembrandt used as an ironing board. Most Koons and
Steinbach’s Readymades do the opposite: They present objects of exchange/
exhibition in the place of art in a way that cancels use… In general they
intimate that all these values—aesthetic, use, and exchange-exhibition—are now
subsumed by ‘sign exchange value’.”[i]
Mencermati
beberapa objek yang dihadirkan seniman di pameran Disthing: Objects of Discontentment, tersematkannyasign exchange value pada karya mereka
dapat terdeteksi dengan mudah. Hadir semacam upayamark upvalue, atau kalau tidak semacam usaha penggaransi nilai
karya, terutama mengingat karya para seniman di sini, kebanyakan tidak
menyajikan found object apa adanya,
melainkan membangun objek yang sengaja dibuat menyerupai kecenderungan readymades-nya Duchamp. Hal ini bisa dilihat pada karya Bagus
Pandega, Budi Adi Nugroho, Cecilia Patricia Oentoro, Faisal Habibi, dan
Leonardiansyah Allenda.Kesemua seniman ini membangun karya dari nol (from scratch), namun alih-alih membentuk
objek yang original, mereka justru mengkopi atau mensimulasi objek yang sudah
duluan ada dan akrab dalam realitas keseharian manusia kontemporer; seperti
misalnya: gramofon, balok sampah, stool,
chandelier, alat kontrasepsi,.dsb
Jika
dicermati, penggunaan simbol dan penanda sebagai empasis pada wacana komoditas,
konsumerisme, dan advance capitalism, sering
sekali tampil pada karya-karya seni rupa kontemporer.Istilah hypercritical, menjadi tuduhan yang
sering dilayangkan pada gejala seperti ini. Dalam pemahaman yang lebih ekstrim,
ada sebuah tesis yang menyebutkan bahwa, hampir serupa dengan kondisi seni
modern yang mensasar aura mistis formalisme sebagai kesejatian, seni di masa hypercritical pun mendeteksi aura
mistisnya melalui tampilan-tampilan yang stereotipikal dan permukaan. Melalui
pernyataan yang cukup tajam, Walter Benjamin pernah memprediksi hadirnya
kenyataan seperti ini,“The cultural need
to compensate the lost aura of art with ‘the phony spell’ of the commodity and
the star.”[ii]
Sesungguhnya
tesis bahwa advance capitalism mempengaruhi
sistem hidup manusia secara menyeluruh, merupakan kenyataan yang tak bisa
dipungkiri.Logika komodifikasi secara mendasar telah merubah mekanisme system of object yang hadir dalam realitas
kontemporer. Dalam artikel berjudul: The
Ecstacy of Communications, Jean Baudrillard mengungkapkan, bahwa system of Object yang linier sudah tak
berlaku lagi dalam dunia yang sudah terlanjur dilekati mekanisme produksi dan konsumsi.
Kenyataannya hadir rasio baru yang menentukan nilai objek-objek dalam
kebudayaan.Kegiatan konsumsi berhasil menghasilkan tanda-tanda baru,
menciptakandiferensiasi, membentuk status dan prestige bagi berbagai objek yang
hadir di kehidupan manusia masa kini.
There is no longer any system of objects… Behind these logics, in some
way descriptive and analytic, there was already the dream of symbolic exchange,
a dream of a status of the object and consumption beyond exchange and use,
beyond value and equivalence. In other words, a sacrificial logic of
consumption, gift, expenditure (dépense), potlatch, and the accursed portion.”[iii]
Melalui
tesis Baudrillard di atas, maka disadari jika objek-objek yang kita temuidi
kenyataan mengandung ribuan kemungkinan makna dan nilai.“Objek” menjadi sebuah kondisi
yang dibentuk oleh posisi kita sebagai konsumen atau setidaknya sebagai subjek
yang turut terlibat dalam mekanisme komodifikasi.Bahkan exchange value karya seni diperumit oleh hadirnya aesthetic value yang memberikan nilai
surplus pada dirinya saat berkomunikasi dengan pola expenditure para konsumen karya seni (dalam hal ini art collectors).Hadirnya amplifikasi
nilai aesthetic value pada karya
seni, secara otomatis berkonsekuensi pada
amplifikasi nilai pada subjek konsumennya dalam bentuk prestige.[iv]
Objek-objek
yang dipamerkan di pameran ini merupakan satu dari sekian ribu partisipan dalam
dikursus seni rupa kontemporer—yang juga digarisbawahi keterlibatannya dengan
mekanisme komodifikasi.Karenanya karya yang hadir juga telah memasuki mekanisme
rumit dalam transaksi nilai antara aesthetic,
use, exchange/exhibition, dan sign
value.Muncul satu hal yang menarik untuk dicermati pada konfigurasi karya
pameran Disthing: Objects of
Discontentment ini; yakni kuatnya upaya para seniman partisipan
untuk memproduksi karya yang terjaga kualitas estetisnya.Hal ini bisa dilihat
secara sederhana melalui jerih payah mereka mengkopi/mensimulasi berbagai benda
keseharian, dengan cara membangun ulang, alih-alih menyasar metode readymades ala Duchamp.Asumsi yang
kemudian terbangun adalah, mereka cenderung melanjutkan tradisi para pengusung
kecenderungan Commodity Sculpture, seperti
Jeff Koons, Haim Steinbach, Ashley Bickerton, dan lainnya.Bisa jadi dikarenakan
kecenderungan ini secara histories belum berpaut jauh dengan kondisi seni rupa
masa kini, sehingga kaitan urgensi di antara wacana commodity sculpture ala Jeff Koons dkk., dengan wacana seni rupa
yang berkembang saat ini masih berkait cukup erat.
Disthing: Objects of Discontentment
Pameran Disthing: Objects of Discontentment ini
menghadirkan “objek-objek” karya delapan seniman yang menampakkan kualitas “discontent”. Dalam hal ini dasar kata discontent dipilih sebagaisubjudul,
untuk menekankan aspek “ketidakpuasan” akan stagnansi nilai, atau menekankanketakajegan
serta adaptibilitas karya seni,saat menyajikan ulang realitas ke dalam bentuk
objek-objek baru yang diciptakan melalui berbagai rute dalam seni rupa
kontemporer. “Disthing” sendiri
sebagai tajuk utama, dipilih dengan menimbang aspek permainan kata-kata yang
melekatkan prefiks “dis”untuk
meniadakan makna “thing” pada frasa
yang bersangkutan.Objek yang terlibat dalam pameran inimemang memiliki kaitan
yang akrab/ familiar dengan benda keseharian, namun keterlibatan objek-objek
ini dalam lingkungan galeri, tentunya berimplikasi pada naiknya valueyang mereka kandung.Karenanya terotomasi
logika bahwa mereka bukanlah sekadar objek, atau sekadar benda, melainkan
sebuah karya seni (objet d’art).Dengan
pemahaman seperti inilah frasa “Dis-Thing”
menempati fungsi operatifnya.
Karya Bagus
Pandega yang berjudul “Remembering and
Forgetting” sedikit banyak masih menunjukkan ciri khas karya-karyanya
selama ini. Penggunaan elemen kinetis serta penggabungan antar berbagai elemen found object, memang seolah menjadi
marka identitas bagi karya-karya Bagus. Seperti juga kecenderungannya selama
ini, Bagus gemar memainkan kemungkinan “mutasi” bentuk dari objek-objek yang
dikenal secara akrab di keseharian. Pada “Remembering
and Forgetting”, corong gramofon yang biasanya tunggal dan berukuran besar,
ia ubah menjadi sekumpulan corong
gramofonberpostur kecil, langsing, dan tinggi. Yang kemudian menarik
untuk disimak pada karya ini adalah bagaimana Bagus membalik logika umum sebuah
gramofon: alih-alih membuat piringan hitam berputar, Bagus malah memberikan
efek kinetis berputar pada corong-corong gramofon miliknya. Bagus tampak
merayakan penuh tagline pameran ini,
dengan cara “mendistingsi” objek gramofon miliknya menjadi sebuah gramofon yang
absurd dan janggal saat ditabrakkan dengan rasio para pemirsanya, yang sudah
barang tentu akan membandingkan karyanya ini dengan objek gramofon yang umum
mereka kenal di keseharian.
Budi Adi
Nugroho, yang selama ini dikenal gemar berkarya melalui trajektori Commodity Sculpture dan metode apropriasi,
kali ini juga menunjukkan kepiawaiannya
dalam mengolah simbol-simbol populer ke dalam karya berjudul
“Pressed Junk”. Pada “Pressed
Junk” Budi menyajikan tokoh fiksi Jepang yang cukup populer: Ultraman, ke
dalam bentuk balok yang umum dikenal juga sebagai salah satu mekanisme
pembuangan sampah di negara maju. Ada semacam upaya “transaksi” value pada karya Budi ini, yang
mengasosiasikan elemen kitsch (pada objek ultraman), penanda berupa “sampah”,
dengan penggunaan warna emas yang merupakan simbol untuk benda dengan exchange value yang tinggi.
Karya
Cecilia Patricia Oentoro yang berjudul “Cautios”
bisa dikatakanmerupakan sebuah karya yang memanfaatkan permainan persepsi
saat bersinggungan dengan objek-objek yang familiar di keseharian.
Patrice (sapaan
akrab Cecilia), membuat sekumpulan objek terbuat dari gelas, yang kurang lebih
menyerupai berbagai macam bentuk kondom; yang kemudian ia susun sedemikian rupa
hingga membentuk sebuah objek baru berupa Chandelier.
Pembubuhan judul “Cautious”
tentunya seiring dengan intensi Patrice menghadirkan objek serupa kondom, yang
berasosiasi juga dengan material gelas yang rapuh dan rentan melukai.“Cautious” saat terkonfigurasi ke dalam
bentuk chandelier juga membentuk
sebuah impresi baru, yakni intimidasi akan suatu hal yang tidak diharapkan,
saat kumpulan gelas berbentuk phallus
tampak hendak menghunjam ke arah pemirsa
di bawahnya.
Karya Dewi
Indah yang berjudul “After Fontana” kentara
merujuk pada karya seniman spatialism,
Lucio Fontana.Penggunaan elemen menyerupai semacam membran yang menutupi bidang
lukisan, yang kemudian dirobek sedemikian rupa, memang merupakan identitas
karya-karya Lucio Fontana.Sebuah lukisan akrilik di atas kanvas, yang menggambarkan
puluhan perempuan berambut panjang tengah bercengkerama, menjadi objek yang
disembunyikan Dewi di balik membran tersobek tadi.Lukisan ini, secara familiar
akan mengingatkan kita pada corak seni lukis tradisional Jepang. Di sini, kita akan
menemui sebuah relasi yang janggal, saat Dewi menempatkan lukisan dengan motif
sedemikian rupa dengan sebuah upaya copycatterhadap
metode salah satu pelopor gerakan minor dalam seni rupa modern (Fontana). Namun
seperti juga karya Untitled, yang
turut Dewi sertakan juga dalam pameran ini; objek-objek yang iahadirkan memang merupakan
permainan jalin kelindan antar berbagai penanda yang bebas ia padu-padankan
menjadi hubungan yang saling memberi dan menabrakkan nilai. Pada karya Untitled, misalnya, Dewi menabrakkan
aspek personal dengan kode-kode visual yang turut ia hadirkan di karya After Fontana. Pada karya ini,
penempatan objek akrilik serupa tumpahan air, di tengah boks yang pada keempat
dindingnya menampakkan lukisan tradisional Jepang ala Dewi seperti karya After Fontana miliknyatadi;merupakan
strategi Dewi dalam mengkombinasikan berbagai elemen visual yang ia anggap
menarik dan ingin ia tampilkan secara bersama-sama.
Faisal
Habibi masih dengan kecenderungan karyanya selama ini, menampilkan sebuah karya
objek dengan karakter desain yang cukup kentara. Yang menarik dari karya-karya
Faisal selama ini,seperti juga tampildalam karyanya kali ini, adalah
kemampuannya mendistorsi benda-benda furnitur menjadi sebuah karya dengan
tampilan visual yang janggal namuntetap memiliki daya tarik tinggi untuk
disimak.Pada pameran Disthing, karya Untitled milik Faisal berupa sebuah stool dengan bentuk kaki yang terdistorsi, merupakan contoh kuat
karya dari trajektori Commodity
Sculpture.Mutasi bentuk yang Faisal hadirkan pada karyanya ini menyebabkanaspek fungsional stool sebagai perangkat duduk hilang
sama sekali. Upaya cancelation nilai
guna karyanya ini, merupakan sebuah konsekuensi yang hadir saat Faisal
melakukan transaksi nilai karya, yang mengkomunikasikan use value sebuah objek desain dengan exchange value karyanya sebagai karya seni (objet d’art).
Karya
Leonardiansyah Allenda pada pameran ini bisa dikatakan merupakan karya yang
paling konseptual dibandingkan karya yang lain. Leo menghadirkan sekumpulan
objek berupa apron, sapu, lap, kemoceng, dan pengki menjadi sebuah konfigurasi
karya. Meskipun tampak seperti kumpulan found
object, karya berjudul “Janitor”
ini merupakan objek-objek yang dibangun secara seksama oleh sang seniman. Masih
tampak tujuan estetis yang hendak disasar Leo, saat ia menggunakan warna monotone
untuk setiap objek yang dihimpunnya, sekaligus saat ia memilih material berupa
eboni (pada objek kemoceng/duster) dan
stainless steel (pada objek pengki).
Leo menyatakan bahwa objek-objek yang ia hadirkan hendak ia targetkan untuk
mewakili sistem interaksi antara ruang dengan subjek-subjek yang terlibat di
dalamnya; dalam hal ini yang ia angkat adalah lingkungan ruang pamer. Tampilnya
objek-objek janitor, yang berfungsi
membersihkan, menurut Leo merupakan suatu perwakilan ide mengenai kegiatan bersih-bersih sebagai interaksi generik
antara suatu ruang dengan subjeknya. Saat ia asosiasikan representasi bersih-bersih ini dengan keberadaan
ruang pamer (galeri, museum, dsb), Leo menemukan bahwa objek yang dibersihkan
di sini sebenarnya adalah exchange value yang
dimunculkan karya seni, yang salah satunya adalah nilai monetary: uang. Karena
itulah pada beberapa objek di karya Janitor
ini, Leo memunculkan sekumpulan koin rupiah, sebagai perwakilan objek yang
terjebak dalam interaksi antara ruang (ruang pamer: galeri, museum, dsb.)
dengan subjek (pelaku seni: seniman, galerist, dsb.).
Objek
sebagai kata kunci pameran ini nampaknya hadir sebagai abstraksi pada karya
Windi Apriani yang berupa dua karya dua dimensi di atas kanvas.Penghadiran
lukisan sendiri, sudah menjadi suatu penjamin bahwa objek yang dihadirkan Windi
adalah sebuah karya seni (objet d’art).Namun
yang hendak ditekankan Windi di sini adalah penghadiran mesin jahit sebagai objectof fascinationsang seniman. Windi
sendiri menyatakan bahwa karyanya ini tidaklah dimaksudkan untuk menyampaikan
narasi tertentu, namun lebih dititik-beratkan pada responnya saat disodori
tawaran berpameran di ruang yang bertajuk “Disthing”.Di
mata Windi sendiri “disthing” yang ia
pahami adalah “bukan benda”, yang ia terjemahkan kembali sebagai sesuatu yang
melepaskan diri dari identitas fungsi dan bentuk benda yang bersangkutan.
Karena itu Windi menghadirkan kembali objek yang ingin ia tampilkan dalam
bentuk citraan mesin jahit di atas kanvas. Hadirnya sang author (Windi sendiri)
sebagai salah satu citraan di atas kanvas bisa jadi merupakan strategi
menempatkan narasi personal Windi, yang hendak menginformasikan bahwa objek
mesin jahit yang hadir memiliki value tersendiri
di mata sang seniman. Jika menyisir kembali sejarah objek mesin jahit ini,
memang ditemui pengakuan personal si seniman yang memberi nilai cukup tinggi
pada objek mesin jahit tersebut. Windi menyatakan bahwa salah satu mahar (mas kawin) yang dihadiahkan sang
suami kepada dirinya saat menikah, adalah mesin jahit yang juga hadir di atas
karyanya tersebut.
Yudi Arif
Budiman pada karyanya yang berjudul Floating
Stones, menghadirkan jalinan yang unik, antara persepsi visual manusia saat
mencerap kontur, berat, dan dimensi benda; dengan analisa visual pada umumnya
saat mengawasi sifat dan posisi benda tersebut di kenyataan. Pada karyanya ini
Yudi memanipulasi knowledge para
pemirsanya yang sudah terbiasa mempersepsi benda berupa batu dengan dimensi
tertentu, sebagai objek yang berat dan pejal.Namun dengan arrangement tersendiri, Yudi menghadirkan objek “batu” miliknya
pada posisi terapung. Dengan teknik khusus, Yudi memang mensimulasikan beberapa
objek yang ia susun sedemikian rupa, sehingga menyerupai batu, supaya berada
dalam kondisi terapung di ruang pamer. Terjadi pertemuan absurd dalam ruang
persepsi para pemirsanya saat menyimak Floating
Stones karya Yudi, yang seolah menolak kaidah alam ihwal sebuah batu yang
biasa ditemui di kenyataan.Menyimak karya Yudi mengingatkan kita pada rute yang
digunakan seniman patung Cornelia Parker dalam berkarya.Penguasaan ruang
sekaligus juga masifnya efek yang ditampilkan Yudi, membuat karyanya menjadi high profile dan menarik untuk disimak.
Mencermati keseluruhan
karya pada pameran ini, kita menemukan adanya jerih payah para seniman
partisipan dalam melakukan “transaksi” nilai sehingga value karya mereka menempati posisi seperti yang mereka harapkan. Namun
karakter personal dan idiosinkrasi masing-masing seniman yang tetap hadir dalam
upaya tersebut, menimbulkan kombinasi yang dapat menghasilkan ragam bentuk
visual yang tentunya menarik untuk diperhatikan.Disthing: Objects of Discontentment merupakan titik temu antara
berbagai variabel komunikasi dalam diskursus seni rupa saat berjalinan dengan
aspek komodifikasi dalam kehidupan kontemporer, yang kemudian dijewantahkan
seniman dalam bentuk respon balik yang khas dan idiosinkratik.
Asmudjo J
Irianto
Dinni
Tresnadewi Nf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar