“Kebenaran mulia
yang pertama: hidup adalah penderitaan,” atau seperti itulah sabda Siddharta Gautama. Dari
keempat kebenaran mulia Buddha agaknya Charlie Kauffman berhenti di butir
pertama saja. Kesimpulan ini diambil setelah menonton Synecdoche: New York. Film debut penyutradaraan Kauffman ini memang
mampat dengan adegan depresif memualkan, sehingga berbuah ganjaran kritikus
hanya senilai 69% di Rotten Tomatoes
(akhir tahun 2013). Nilai yang mengecewakan jika hendak dibandingkan dengan karya
penulisan Kauffman sebelumnya(: Being
John Malkovich, Adaptation, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, etc).
Tapi kita berbicara tentang karya sang Kauffman yang brillian, yang menurut
kritikus Manohla Dargis senantiasa
dibanjiri ajektiva berawal huruf “e”: eclectic,
eccentric, edgy, dan eggheady
(dan satu ajektiva “Q”: Quirky). Tapi
di proyek ambisius Kauffman ini, agaknya kritikus bimbang, apakah Synecdoche:
New York sebuah masterpiece atau
sekadar over-self indulge project.
Opini
kritikus mungkin menjadi Weltanschauung
dunia perfilman; sebuah mekanisme otonom yang tunjuk jarinya terhadap harga si
film tak bisa ditawar lagi. Lucunya pilihan kata Weltanschauung (the world view) menurut saya menjadi kunci bagi
film ini. Terma ini di pemahaman saya dekat dengan penerapan Shakespeare pada
frasa Theatrum Mundi: “All the
World’s a Stage.” Sama seperti Shakespeare meletakkan karakternya dalam kondisi
tak mampu berbuat banyak menghadapi terjangan nasib, Charlie Kauffman juga
dengan kejam menempatkan Caden Cotard—karakter utama film—di posisi terhimpit
antara “rock” and “hard surface”—Atau dalam kosakata komedik
lokal diterjemahkan sebagai: “Maju kena mundur kena.”
Synecdoche
menyuguhkan Theatrum Mundi ala Caden Cotard. Sebagaimana Hamlet, Othello, atau
Macbeth berupaya mengambil kontrol kehidupan, Caden tak pernah benar-benar
mampu mengendalikan nasibnya sendiri untuk lepas dari kemalangan. Padahal ia
adalah sutradara untuk sebuah lakon raksasa, yang merupakan kopi dari secarik
skenario kehidupan berjudul kota new York. Di sini manusia diposisikan sebagai
objek, pion yang dikendalikan oleh gerak nasib. Karenanya hadir meta-subjek
dalam lakon semacam ini, yakni dunia atau nasib atau kehidupan atau Weltenschauung sebagai aktor utama.
Caden
Cotard si pria paruh baya dengan krisis kepercayaan diri, dihimpit oleh
kenyataan (atau bahkan sekadar delusinya sendiri) bahwa tubuhnya yang tak lagi
muda mulai sakit-sakitan dan fakta bahwa sang istri yang seniman, karirnya kian
cemerlang. Seorang sutradara teater yang diakui, Caden stuck dalam berkreativitas sehingga hanya mampu memproduksi ulang
karya orang lain. Caden berdelusi seolah tubuhnya meluruh sedikit demi sedikit.
Suatu kebetulan absurd ala Kauffman, karena Cotard delusion adalah istilah
medis untuk kondisi mental seseorang yang yakin bahwa dirinya tinggal jasad
semata.
Terjebak
dalam rasa cemburu akan istrinya yang berbakat sebagai seniman mini painting, Caden kian bernafsu untuk
menciptakan magnum opusnya; sebuah mahakarya teater level raksasa. Di sini saya
kira judul film relevan dengan kontennya, di mana masing-masing Caden dan Adele (istri Caden) memproduksi
karya dalam skala ekstrim yang saling bertolak belakang. Caden dalam sinekdok raksasanya yang menampilkan bagian besar mewakili
individualitas (everybody is somebody); sedang Adele dalam sinekdok mini paintingnya,
yang menunjukkan satu bagian kecil sebagai perwakilan keseluruhan entitas
(somebody is everybody). Karya Caden boleh jadi masif dan efektif—menyerang
publik dengan ukurannya yang meraksasa. Namun dengan sekadar mengkopi kehidupan
penduduk New York secara literal, jelas bahwa iri hati Caden terhadap istrinya
berpangkal pada kenyataan bahwa dirinya tak sanggup menyusul bakat dan
sensitivitas seni sang istri. Saya kira Caden adalah sinekdok dari kebanyakan
kita. Ego menuntun kita untuk menunjuk kehidupan sebagai biang kerok kesengsaraan
hidup. Buruk rupa cermin dibelah. Dan Caden hendak menunjuk kehidupan sebagai
si buruk rupa.
Di sinilah
pangkal cerita bermula. Caden yang terobsesi untuk mengkopi kenyataan kehidupan
di sekitarnya kian merangsek masuk ke dalam sinekdoke kota NewYork miliknya. Ia
bongkar peran setiap individu yang singgah dalam hidupnya, dan layaknya tuhan,
Caden mengkomando para aktornya untuk berlaku sesuai dengan skrip kehidupan
yang ia alami. Dalam kehausan menghadirkan mini New York, datang seorang Sammy
yang mengobservasi Caden luar dalam sejak lama, hingga ia sanggup menghayati jalan
pikiran seorang Caden Cotard. Sammy sempurna menjadi Caden, sampai-sampai ia harus
mati dalam kekecewaan karena jatuh hati pada pujaan hati Caden, Hazel. Kematian
sang aktor utama menggerus kenyataan dalam pusaran simulasi gubahan Caden. Dan Caden
pun menjadi Ellen—si pramuwisma fiktif yang tak pernah benar-benar bisa
dipastikan kehadirannya di kenyataan, karena sejauh yang penonton bisa afirmasi
ia hanyalah fabrikasi benak Caden saat ia berimajinasi memasuki apartemen fiksi
Adele. Di akhir cerita kopi dan kenyataan saling tumpuk: simulasi melahap yang aktual, replika menggerus yang sejati;
dan Ellen yang fiktif mengambil lampu sorot dan menjadikan dirinya sebagai pemeran
utama. Epilog yang dibawakan oleh Ellen—melalui suara Millicent, yang merupakan
satu-satunya eksisten penanda kehadiran Ellen sebagai aktris yang memainkan peran
Ellen—menjadi suatu penyimpul akan kesiasiaan kehidupan, dan akan kenyataan
yang tak bisa dihindarkan bahwa everybody
is somebody.
Menonton Synecdoche New York memang perlu ketahanan
khusus, karena Kauffman—melalui sikap pahit Caden—benar-benar membongkar arti hidup
hingga ke batas kemampuan orang untuk jujur menyatakan bahwa hidup itu tidak
baik-baik saja. Epilog Ellen akan membuat siapapun terpusing dalam pusaran
negativitas terhadap hidup. Tapi mungkin bukan soal hidup yang bersikap
negatif, mungkin manusialah yang seringkali berpengharapan terlalu tinggi
terhadap apa yang ditawarkan kehidupan.
Di luar tema yang demikian memualkan, Synecdoche juga menawarkan plot yang jauh dari konvensional. Kemampuan sang penulis dalam membuyarkan konsentrasi penonton dalam membaca linieritas alur, memang patut diacungi jempol. Gagasan tentang membangun sebuah teater raksasa yang mengkopi kenyataan, saya kira bisa jadi adalah mimpi utopian sutradara manapun. Namun dalam eksekusinya, membangun simulasi yang dikontrol penuh oleh tangan seorang sutradara adalah hal yang mustahil; setidaknya ia akan tersesat dalam menentukan mana yang original dan mana yang tiruan. Dalam perspektif yang lebih luas, Synecdoche: New York menunjukkan meta-gagasan yang serupa; bahwa hidup adalah Theatrum Mundi bagi sang sutradaranya sendiri.
Akhir kata, dalam kerumitan dan keabsurdannya, Synecdoche New york tak bisa dinyatakan hanya sebagai filem one of the kind semata; Synecdoche New York, adalah the only kind of such a movie.
Di luar tema yang demikian memualkan, Synecdoche juga menawarkan plot yang jauh dari konvensional. Kemampuan sang penulis dalam membuyarkan konsentrasi penonton dalam membaca linieritas alur, memang patut diacungi jempol. Gagasan tentang membangun sebuah teater raksasa yang mengkopi kenyataan, saya kira bisa jadi adalah mimpi utopian sutradara manapun. Namun dalam eksekusinya, membangun simulasi yang dikontrol penuh oleh tangan seorang sutradara adalah hal yang mustahil; setidaknya ia akan tersesat dalam menentukan mana yang original dan mana yang tiruan. Dalam perspektif yang lebih luas, Synecdoche: New York menunjukkan meta-gagasan yang serupa; bahwa hidup adalah Theatrum Mundi bagi sang sutradaranya sendiri.
Akhir kata, dalam kerumitan dan keabsurdannya, Synecdoche New york tak bisa dinyatakan hanya sebagai filem one of the kind semata; Synecdoche New York, adalah the only kind of such a movie.
Bandung, 5 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar