Sabtu, September 07, 2013

An Essay for the Exhibition of Laurent Millet Project: "Drawing Shadows to Earth". Exhibited from September 7th to 22nd 2013 @ Lawangwangi Creative space Jl. Dago Giri 99, Bandung, West Java, Indonesia



Laurent Millet: Poetic Complexity

Menyimak karya Laurent Millet dalam pameran“Drawing Shadows to Earth”  impresi yang mungkin muncul di benak pemirsa adalah kesan dingin dan kesederhanaan visualnya. Namun jika pemirsa merujuk pada judul karya, atau lebih jauh lagi merujuk pada statementsang seniman, maka akan ditemui kenyataan bahwa karya Millet merupakan hasil dari jalinan gagasan yang sama sekali tidak sederhana. Menyimak karya-karya fotografi Millet pada pamerantahun 2010:“The Last day of Immanuel Kant”,hadir foto dari objek-objektridimensional yang tampak tak memiliki kaitan dengan judul pameran.Namun jika seseorang dengan cermat mengkorelasikan judul dengan konstruk visual karya, maka akan ditemukan jejak dari kerumitan gagasan yang dibangun Millet. Pameran yang disebut di atas merupakan judul dari pseudo-biography Immanuel Kant karya Thomas de Quincey.Kekaguman Millet akan karya literatur tersebut, berjalinan dengan ketajaman riset dan kapasitas artistiknya, terwujud dalam bentuk karya fotografiyang subtil, namun tetap menunjukkan sensibilitas visual.

Kegemaran Millet dalam membangun karya yang mereferensi berbagai sumber (sains, filsafat, kecenderungan seni para pendahulunya, fiksi, dsb.) berkait erat dengan aspek kognitif dalam kesenian.Meskipun secara awam karya seni sering direduksi sebagai objek sensual (mengandalkan kemampuan sensing)semata, namun premis tersebut mereduksi nilai seni yang sesungguhnya.Suatu objek seni memiliki sistem pemaknaan yang berkait erat dengan aspek kognitif baik dari sisi seniman (sebagai enconder makna) maupun apresiator (sebagai decoder makna).Karena pada hakikatnya kegiatan “melihat” bukanlah sebuah aktivitas perseptual yang dilakoni indera penglihatan saja. Lebih dari itu kegiatan “melihat” juga melibatkan aspek konseptualisasi yang akan bergantung pada sistem pengalaman dan pengetahuan si subjek itu sendiri. “Perception doesn’t just provide data picked up by the senses; it also plays an active role in conceptualization.”[i]Data visual yang dicerap seorang pemirsa saat melihat sebuah karya seni dimaknai bukan oleh mata sebagai indera penglihat, namun melalui mekanisme pemaknaan di dalam otak.Kita memberi makna pada suatu objek dengan menarik data-data visual dari pelbagai wilayah di otak yang sebelumnya kita konstruksikan sebagai suatu konsepsi, skemata, skrip kognisi, dan bentuk lainnya.[ii] Karenanya pembacaan suatu karya seni akan bergantung pada sistem pengetahuan si seniman sekaligus penikmatnya.

Bisa dikatakan karya-karya Millet erat kaitannya dengan variabel kognitif dalam seni rupa. Sebagai seorang encoder—pemroduksi kode-kode—Milletasyik  menghimpunlapisan demi lapisan pengetahuan yang ia anggap penting saat membangun karyanya.Jika dibandingkan dengan kecenderungan berkarya seniman Indonesia, jalur berkarya Millet bisa dibilang cukup berbeda karena melibatkan aspek pengetahuan yang cukup rumit.Bahkan keputusan finalisasi karya dalam bentuk foto pun merupakan salah satu pembangun sistem gagasan Millet yang padat topik. Dalam kesempatan wawancara, Millet menyatakan bahwa ia memang lebih memilih bekerja dengan citraan (foto) alih-alih menampilkan objek ciptaannya secara langsung. Bagi Millet setiap objek yang ia buat memiliki potensi citraanyang kuat dengan berbagai “fungsi” yang bisa ia manfaatkan. Fungsi dalam hal ini adalah fungsi yang berkaitan dengan aspek visual dan physical property si objek, yang bisa dikaitkan dengan objek-objek lain yang Millet anggap menarik dan penting.Dalam satu kesempatan pameran berjudul Petites Machines a Images misalnya, konfigurasi objek-objek yang Millet susun di pantai berelasi secara optis dengan lanskap pantai. Ketika objek-objek ini ia tembak dengan menggunakan kamera ber-eksposur tinggi, yang dihasilkan adalah foto berefek dwi-dimensional yang tampak bagai kertas bertorehkan coretan-coretan pena.

Berkaitan dengan penggunaan medium fotografi, Millet memang tak menyasar visualisasi yang “extravaganza” seperti yang dilakukan kebanyakan perupa kontemporer.Alih-alih meminjam simbol dan citraan yang berasal dari “grand-narration”nya seni kontemporer—seperti popular culture, bahasa media/iklan, dan bentuk-bentuk komoditas—Millet justru lebih suka menghasilkan citraan yang bernuansa (nuanced) lamat-lamat (subtle).Ambil contohkarya “Drawing Shadows to Earth” dalam pameran inimisalnya. Karya foto yang menampakkan interaksi antara objek-objek rektangular berwarna hitam dengan gunungan lumpur ini, merupakan karya yang me-reaktivasi karya seniman earth-art Sol Lewwit (:“The Burried Cube”), gaya  konstruktivist Casimir Malevich, dan kecenderungan antidrawing-nyaRobert Morris. Dalam hal ini Millet tengah berupayamentranskripsi gayatiga seniman besar tersebut, dalam konteks, jenis material, dan dimensi waktu yang baru. Konteks yang hendak dibangun Millet berkaitan dengan kondisi yang ia lihat di Indonesia, yakni kompleksitas relasi antara aspek-aspekindustri, natural, dan kultural di negeri ini. Berkaitan dengan olah citraan,“Drawing Shadows to Earth”  juga menghadirkan permainan optis antara material lumpur dengan pelbagai objek rektangular hitam yang hadir di dalamnya. Terkadang objek hitam tersebut tampak bagai lubang geometris di tengah kubangan lumpur, terkadang bagai sebuah bangunan mini yang tumbuh begitu saja dari dalam tanah, namun juga lebih sering hadir sebagai objek absurd yang seolah “tak ada urusan” untuk hadir di tengah tumpukan lumpur. Millet sendiri tak ingin menggiring persepsi pemirsa dalam pengertian yang tunggal. Merujuk kata-katanya dalam wawancara ia menyatakan: “...these black boxes can be seen several ways: geometrical shape, architecture, little caves, sculptures, industrial shape, spaces, or camera obscuras.”

Karya seorang Laurent Millet memang merupakan sebuah complex intersectionantara berbagai aspek dari berbagai cabang ilmu.Karya objek berjudul “Black Maria” adalah salah satu contohnya.Karya yang bisa disebut sebagai sebuah homage bagi Thomas Alva Edison ini, diinspirasi oleh studio sinema pertama di dunia (bernama black Maria) dan pabrik separator bijih besi—yang keduanya digagas si raja paten, Edison. Secara perseptual pemirsa digiring Millet untuk menyaksikan bangkitnya Black Maria dan ore separator yang dibangun Edison di masa lalu.Millet membakar struktur karyanya ini terlebih dahulu, untuk mencapai efek hitam legam seperti halnya bangunan Black Maria-nya Edison.“Black Maria” Millet terdiri dari replika black Maria milik Edison yang ditempatkan saling bertolak belakang dengan replika ore separator. Kedua replika bangunan tersebutbertumpu pada satu platform yang sama. Struktur ini direbahkan di atas timbunan pasir hitam seperti kapal terdampar.

Tak seperti kebanyakan karyanya yang secara visual lebih banyak mempermainkan aspek formal, “Black Maria” tampak lebih representasional.Upaya replika, meskipun tidak secara langsung, dan juga metode menghadirkan objek secara langsung—alih-alih menampilkan citraan objek, menjadikan karya Millet ini tampak berbeda dengan kecenderungannya selama ini.Namun aspek penyatuan berbagai layer persoalan dalam berkarya masih sangat kentara terasa.Kekaguman Millet terhadap sosok Edison, terhadap persoalan citraan, dan juga sorotan persoalan industri, alam (lingkungan hidup), dan kultur manusia dalam proyeknya kali ini; saling berkelindan dan tersimpul dalam “Black Maria” yang dalam legam dan dimensinya tampak padat dan kokoh.

Karya berjudul “Untitled: Mount Merapi” bisa ditempatkan sebagai penanda bagi aspek “lokasi” dalam keseluruhan proyek yang Millet garap kali ini. Millet menyatakan bahwa iaingin membangun korelasi antaraCrazzanes (lokasi di Perancis yang menarik minat Millet di proyek sebelumnya) dengan lokasi yang ia temui di Indonesia. Merapi—atau tepatnya ladang lahar Merapi—lebih kurang memang mirip dengan Crazzanes, di Perancis, yakni dalam keberadaannya sebagai situs ekskavasi material tambang; jika Merapi menyediakan pasir, maka Crazzanes memasok batu kapur. Satu lagi yang kemudian membuat Millet memilih dua situs ini sebagai objek fasinasinya, yakni pertemuan antara aspek industri, kultur, dan natural di kedua lokasi, telah menyisakan jejak bentuk yang dapat dinikmati secara visual. Di ladang lahar Merapi, sisa kerukan penambang dan tumpukan pasir telah membentuk topografi yang unik. Bentuk-bentuk seolah ngarai, lembah, dan tebing; mengacaukan persepsi akan dimensi dan ruang bagi para pemirsa karya Millet ini. Ke-10 karya dalam bentuk foto ini, dibuat Millet dengan pendekatan dokumentatif, sehingga tampak apa adanya, jauh dari kesanmencari efek estetis dan dramatis.

Berkaitan dengan ketertarikannya dalam olah image dan dunia sinematografi, Millet juga tentunya terbiasa dengan medium video. Pada karyanya “Crazzanes” Millet masih mengolah gagasan akan kompleksitas interaksi antara alam, industri, dan kebudayaan. Pada “Crazzanes” Millet dengan cermat menggugah pemirsanya akan aspek displacement atau ketakhadiran. Pada video ini kita digiring memasuki ceruk seolah-terowongan, yang terbentuk dari kegiatan ekskavasi batu kapur.Ceruk-ceruk berbentuk geometris ini secara signifikan menandai hadirnya aspek kultural (baca: campur tangan manusia) di sebuah situs yang aspek naturalnya masih sangat mendominasi.Gua berbentuk rektangular seolah berjalin kelindan dengan vegetasi yang dengan subur menyelimuti rongga-rongga tebing.Efek displacement dan ketakhadiran muncul saat kita menyadari bahwa rongga-rongga di tebing ini adalah material yang dikeruk oleh industri untuk kepentingan kultural manusia.Millet mengambil idiom carving dalam membangun sebuah patung untuk menjelaskan ketertarikannya dalam mengobservasi Crazzanes. Logika membentuk dan membuang material yang tidak diperlukan dalam memahat patung, ia sejajarkan juga dalam proses pembentukan gua-gua di Crazzanes.

Pada karya videonya yang lain: “Equivalence”,  titik berat Millet adalah pada fasinasinya terhadap citraan dan berbagai isu dalam sains, fislsafat, dan dunia bahasa. Dalam video ini, Millet menggabung berbagaifootage yang ia himpun secara pribadi dari internet atau sumber lainnya. Selain aspek citraan, Millet juga menghimpun berbagai isu yang memang mencirikan karya-karyanya selama ini; seperti misalnya penyebutan sosok dominan di dunia sains dan filsafat (dalam hal ini Goethe); keterlibatan aspek visual-formal yang memberikan efek perseptual tertentu bagi para pemirsanya (mekanika fluida dan gerak ombak misalnya) ; juga diangkatnya isu-isu yang menjadi objek ketertarikannya (dalam hal ini aspek bahasa, simbol, dan sains). Relasi yang dibangun dalam “Equivalence” di antaranya penghimpunan imaji dan footage mengenai observasi Goethe akan bentuk dan material awan; gerak lautan dan adegan ledakan saat Perang Dunia 2;perang membongkar bahasa sandi antara Inggris dan Uboat milik Jerman ;isu Alan Turing yang menemukan metode algoritma dalam pembangunan komputer pertama di dunia; pengalaman Nasa dan bagaimana para ilmuwannya berbicara mengenai objek riset mereka; berbagai adegan metereologis; dan juga beberapa footage dari laboratorium mekanika fluida di Perancis.

Kesemua karya yang dihadirkan dalam pameran ini sedikit banyak memberi gambaran mengenai sosok Millet yang intelektual dan berdedikasi terhadap perannya sebagai seorang seniman.Fitur-fitur ini inheren juga dalam kehidupannya di luar berkesenian. Saat ia mengujungi India beberapa tahun yang lalu misalnya. Kecenderungan intelektualnya untuk berpaling pada buku-buku dan berbagai informasi saintifik menjadi pilihan untuk menjawab kegelisahannya saat berinteraksi dengan kultur yang serba asing. Dengan berbekal ketakjuban pada pusat observasi di Jantar Mantar, Jaipur; juga dengan panduan berupa buku De Rerum Natura-nya Lucrezia, Millet berhasil menggubah karya yang bertitik berat pada konsep movement manusia.
Sosok Laurent Millet memang bisa dikatakan sebagi sosok yang idiosinkratik jika dibandingkan dengan seniman kontemporer Indonesia.Keasyikannya dalam mencipta objek dengan kelindan makna yang rumit, tumbuh dari upayanya untuk percaya diri terhadap karya yang dihasilkan. Dalam kesempatan wawancara Millet menyatakan bahwa salah satu problem berkarya rupa adalah ketakyakinan seniman pada objek ciptaannya, yang biasanya berakibat sang seniman memberikan penjelasan terlampau jauh. Mungkin patologi seperti inilah yang menjangkiti kebanyakan seniman muda saat ini.Penjelasan verbal yang overflowing sesungguhnya merupakan langkah yang kurang strategis, karena akanmembatasi kemungkinan pembacaan/pemaknaan yang lebih kaya.
“This is part of my confident, to say that my object can be read in different layers… the object in itself is full of possibilities. The more you said about it the more you restraining it. But you can’t also leave it as it is…to say nothing… So its really difficult to find the balance… we talked about it very often, me and my student, because sometimes we said too much, so it killed the possibilities (of the artwork)…”[iii]

Kebiasaan Millet mengolah sekian banyak subject-matter dari berbagai cabang pengetahuan mungkin menambah resiko kian minimnya kemampuan baca pemirsanya.Namun hal inilah yang menantang Millet untuk lebih percaya diri terhadap objek-objek ciptaannya.Lagi pula rumitnya sistem gagasan yang dibangun Millet ternyata tak lantas membuat dirinya menjadi lumpuh dalam mengolah sensualitas bentuk karya.Dalam kematangan pengalamannya, Millet mampu menghasilkan karya dengan ragam formal yang appealing secara visual, meskipun konsepsi gagasannya cukup rumit dengan multi-lapis persoalan.

Karya Millet yang rumit dengan nuansa visual yang lamat-lamat ini, menjadikan karyanya bagai suatu kompleksitas yang puitis (Poetic complexity).Upaya untuk membaca dan memaknai karya-karyaMillet mungkin akan menjadi tantangan tersendiri bagi publik seni Indonesia. Memahami metode berkarya Millet ibaratnya sebuah kesempatan untuk memicu sofistikasi berpikir dan pembacaan yang lebih komprehensif terhadap karya seni. Sebab selama ini publik seni Indonesia lebih sering dimanjakan oleh karya-karya yang secara visual tampakobvious, extravaganza, dan over-ornate.Perlu disadari keluasan pengetahuan, keterbiasaan meriset dan kegemaran menghimpun informasi menjadi modal utama untuk membangun diskursus seni rupa yang lebih canggih.

Asmudjo Jono Irianto
Dinni Tresnadewi Nf



[i] Graeme Sullivan, Art Practice as Research: Inquiry in the Visual Arts, London: Sage Publications, 2005, hal. 118
[ii] Ibid, hal. 119
[iii] Millet, Laurent. 2013. Wawancara di Lawangwangi Creative Space, jl. Dago Giri no. 99, Bandung, Jawa Barat, Indonesia