Rabu, November 13, 2013

You Can’t Beat a Story Well Told!

Setidaknya satu hingga dua dekade ke belakang, Di tengah terjangan novel young-adult seperti Harry Potter, Eragon, Artemis Fowl, atau bahkan—maafkan saya quote pula—Twilight, novel dengan plakat NewBerry Medal Award tertera di cover-nya, bagai oasis yang mampu melepas rindu para pembaca yang mendamba kisah dengan jalinan plot apik, uncondescending morality, dan bangunan karakter yang matang dan realistis. Tidak hendak menafikan kualitas Harry Potter dan kawan-kawan, namun jika mau dicermati sejenak, novel semacam mereka sudah terlanjur terperosok dalam stereotipikal dan pola yang mudah ditebak. Meskipun mengasyikkan dan tak akan dipungkiri memiliki plot yang cukup canggih, namun ada kedalaman yang tak sanggup mereka raih, sebagaimana yang bisa didapat dari novel-novel peraih penghargaan NewBerry.
 
Mungkin akan ada banyak yang membela pengarang fantasi ala Rowlings, dengan alasan bahwa mereka dan para peraih NewBerry bertarung in a whole different genre. Tapi dalam gaga-waga sederhana ini, kita tetapkan saja batasannya dalam pemahaman generik: sebagai novel young-adult. Satu novel yang akan ditetapkan sebagai sampel adalah karya Louis Sachar di tahun 1998: Holes. Penulis cukup yakin jika Holes adalah buku anak-remaja yang sangat populer di Amerika. Mengingat tradisi literasi mereka yang cukup baik, dalam kurikulum mereka, biasanya ada beberapa judul buku yang secara akademis, atau dalam takaran pedagogi, dianggap layak untuk dijadikan kanon dan buku “wajib” untuk dibaca para pembaca muda. Holes saya yakini adalah salah satunya. 

Ditulis Louis Sachar pada tahun 1998, bagi mereka yang pernah membacanya, Holes memberi impresi yang cukup unik dalam ingatan. Dengan tuturan yang membawa kualitas deadpan, pembaca terhindar dari emosi berlebih seperti yang biasa ditemui kebanyakan buku-buku drama. Namun tidak berarti Holes tak membawa pembaca dalam dinamika emosi sama sekali. Kisah Stanley Yelnats si bocah gemuk yang berasal dari keluarga miskin namun bahagia ini, memberikan pesan mengenai kejujuran, keberanian, dan kesetiakawanan dalam frekuensi komunikasi yang datar dan tersembunyi. 

Berawal dari nasib malang Stanley yang dituduh mencuri sepatu si legenda basebal, Clyde Livingston-Sweet Feet, Stanley terpaksa memilih menjalani hukuman di Camp Greenlake yang tandus dan kejam, karena Ia pikir sebuah camp musim panas akan menjadi pilihan yang lebih baik daripada masuk penjara. Camp Greenlake dipimpin oleh si Warden yang sadis dan dua kaki tangannya yang sedikit konyol dan sok jago: Mr. Sir dan Dr. Pendanski. Di bawah tekanan tiga orang dewasa yang tidak kompeten ini, Stanley dan teman-teman “kriminal”nya dipaksa menggali sebuah lubang setiap harinya; di bawah terik matahari, di antara terpaan debu Greenlake yang panas, dengan bekal satu jeriken air dan makan siang seadanya. Hukuman ala camp Greenlake yang aneh ini, berpadu dengan keberadaan kadal gurun bintik kuning yang mematikan, ditambah dengan kehadiran satu anak penghuni camp Greenlake yang kelewat pendiam bernama Zero, menjadi elemen khas cerita anak-anak yang absurd dan imajinatif. Namun setiap detil ini, kelak, di akhir buku akan menjadi komponen penting yang membangun keseluruhan cerita secara utuh. 

Bangunan karakter yang cukup kuat dipadu dengan plot yang canggihyang melibatkan tokoh-tokoh tiga zaman sekaligus; mengantar pembaca menuju jalinan cerita yang dengan apik berkelindan menuju satu kesimpulan. Dalam Holes, kita akan menelusuri jalinan antara kisah Elya Yelnats di Latvia, yang menjadi cikal bakal “kesialan” nasib keluarga Yelnats; diikuti oleh kisah tragis Kissing Kate Barlow yang mengawali nasib buruk kota Greenlake; dan kisah Stanley yang agaknya ditugasi untuk mengakhiri rentetan nasib buruk yang menimpa keluarga Yelnats dan Kota Greenlake. Satu hal yang menarik dari Holes, adalah adanya satu isu induk yang senantiasa diselipkan Sachar di setiap kisah tiga zaman ini, yakni persahabatan lintas ras yang disampaikan seolah menjadi background cerita semata, tanpa adanya pretensi menggurui dan menasihati. 

Tuturan Sachar yang maju-mundur, antara tiga zaman berbeda, tidak lantas membuat pembaca kehilangan fokus. Stanley yang hidup di masa sekarang (: dimensi waktu saat kisah dituturkan)  akan tetap menjadi tokoh kunci dalam keseluruhan cerita. Evolusi karakter seorang Stanley, dapat disimak pembaca melalui sikapnya saat berhadapan dengan situasi sosial di camp Greenlake. Camp khusus anak lelaki ini dipenuhi oleh puluhan remaja yang menyeret excess baggage-nya masing-masing. Dalam pergaulan sedemikian rupa, Stanley dipaksa untuk memilih antara menjadi Caveman—sebutan para anak bengal camp Greenlake untuk Stanley—yang populer dan diakui teman-temannya yang lain, atau menjadi seorang Yelnats yang dikucilkan karena bersikap setia kawan dan adil (: nilai yang sudah tumbuh secara inheren dalam diri Stanley sendiri).

Ada semacam sensasi Dahl-ism saat membaca Holes. Namun fantasi moral ala Road Dahl yang absurd, justru digantikan oleh moralisme yang dinyatakan secara alami dan realistis. Meskipun alur mengerucut di sebuah kesimpulan yang terlalu dramatis untuk menjadi sebuah kebetulan, namun harus diingat bahwa Holes adalah buku young-adult  atau bahkan bisa dibilang sangat ramah untuk dikonsumsi pembaca anak-anak, jadi logika kaku ala orang dewasa yang membedakan kenyataan dan fantasi, bisa ditoleransi di sini. Yang kemudian membuat Holes agak istimewa dibandingkan rata-rata pemenang Newberry award lainnya adalah: ketajaman Sachar dalam mengolah alur yang mengasyikkan, dan kemampuannya untuk sedikit menekan aspek drama yang kelewat “feminin” seperti di kebanyakan buku pemenang Newberry lainnya. 

Meskipun konon tidak termasuk ke dalam Novel peraih plakat Newberry terfavorit, namun Holes tak bisa dipungkiri adalah salah satu karya yang lekat dalam ingatan, setidaknya di antara  novel-novel lain jebolan penghargaan bergengsi Amerika ini. Akan menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi anak-anak kita juga, jika para orangtuanya sudi membacakan atau setidaknya membelikan buku ringkas ini, untuk memperkaya pengalaman imajintif masa kecil mereka, dengan sebuah petualangan koboy ala Stanley dan kawan-kawannya di Camp Greenlake.

Oktober-November 2013

Rabu, November 06, 2013

Disthing: Objects of Discontentment

Salah satu essay yang saya kira setelah penulisannya memberikan sensasi: "A good job well done, you!" Meskipun setelahnya penulis utama menginformasikan bahwa ada beberapa pihak yang cukup menyerang karena sekadar satu pilihan kata yang terlalu simbolik, but nevertheless I think the essay is okay, probably the best I've written yet... Written around  late June 2013... The exhibition was held on early July...

Disthing: Objects of Discontentment

Salah satu penanda yang dengan mudah dapat membedakan karya seni rupa modern dengan karya seni rupa kontemporer, adalah validasi masing-masing diskursus dalam menentukan nilai estetis suatu karya. Jika di masa modern validasi suatu karya dilindungi dengan sangat ketat melalui batasan kanvas atau jenis material yang digunakan dalam karya patung; atau bahkan ditentukan secara hegemonstik oleh segelintir kritikus; maka validasi karya seni seni rupa kontemporer bisa dikatakan merupakan praktik “heretic” bagi mereka yang percaya pada supremasi seni modern. Dinyatakan demikian karena validasi seni rupa kontemporer bisa direduksi hingga semata penempatan objek apapun ke tengah ruang galeri atau musium.
Jika hendak menjejaki moyang seni rupa kontemporer, yang mewariskan karakter sedemikian demokratis, kita akan sampai pada satu event di mana sebuah urinary (pispot) ditempatkan di tengah galeri oleh seorang Marchel Duchamp. Strategi Duchamp ini sedikit banyak menggoyahkan keyakinan banyak orang, sehingga tergelitik untuk melontarkan pertanyaan basis mengenai seni rupa: Bagaimana suatu objek dinyatakan sebagai suatu karya seni?

Puluhan tahun setelah kasus Richard Mutt—coretan nama yang secara acak diterakan Duchamp di permukaan urinary—mengegerkan dunia seni rupa modern, baru di kisaran tahun 60-an lah langkah berani Duchamp, memberi efek berarti—terutama dalam menyisihkan hegemoni seni rupa modern. Seni saat itu kemudian turun dari “pedestal” untuk merangkul berbagai variabel hidup keseharian.Ketika otonominya ditanggalkan, seni rupa pun tampil dengan kode-kode visual yang baru, yang tentunya mereferensi kehidupan di luar seni sendiri. Kompleksi seni yang sedemikian rupa berimplikasi pada bentuk seni yang selalu contingent pada referensinya; karena ituvocabulary seni rupa kontemporer pun selalu merujuk pada berbagai wacana dominan, yang mempengaruhi kultur manusia kontemporer secara lebih luas.
Saat kultur kontemporer dikendalikan secara dominan oleh kapital, maka seni pun tampil sebagai representasi kondisi yang ada, pun sebagai salah satu elemen kebudayaan yang juga dikendalikan kapital.Logika komodifikasi pun turut mengendalikan wilayah seni rupa, memulasi wajah objek-objek yang terkategori sebagai “karya seni rupa kontemporer”, dengan berbagai elemen kritik, perayaan, dan rujukan atas realitas yang terjebak mekanisme komodifikasi.Sebagai konsekuensinya, karya-karya seni rupa kontemporer memboyong produk-produk komoditas ke dalam wilayah wacana seni rupa.Image dan simbol dari film, iklan, dan kemasan produk retail naik ke atas kanvas dan masuk ke ruang galeri.Ketika memasuki wilayah galeri atau musium, maka objek, simbol, dan citraan dari wilayah keseharian ini pun terotomasi mengalami transaksi nilai, sehinggaexchange value-nya mengalami amplifikasi nilai.

Jeff Koons, Ashley Bickerton, dan Haim Steinbach mungkin tiga dari banyak seniman kontemporer yang cukup prominent memboyong aspek dunia komoditas, politik ekonomi kapital, dan berbagai representasi produksi-massal ke ruang galeri.Karena kecenderungan yang mereka kembangkan inilah, istilah Commodity Sculpture mendapatkan tempat dalam kosakata seni rupa kontemporer. Strategi Jeff Koons dalam menempatkan dua buah Vacuum Cleaner secara bertumpuk dalam sebuah casing plexiglass (New Shelton Wet/Dry Double Decker, 1981); atau yang dilakukan Haim Steinbach pada karyanya Related and Different (1985),  yangmenghadirkan sepasang sepatu Air Jordan bersebelahan dengan lima buah cangkir plastik berwarna emas di atas rak formica; sedikit banyak mengingatkan kita pada tradisi ready mades yang dipelopori Marchel Duchamp di awal abad-20. Namun meskipun secara genealogi Commodity Sculpturememang berakar pada rute Duchampian, namun sasaran dan karakteristik kedua kecenderungan ini sebenarnya berbeda.Jika pada tahun 1914 Marchel Duchamp menempatkan bottle rack dengan maksud mempertanyakan ulang aesthetic value sebuah karya seni, maka Jeff Koons dan rekan-rekannya menempatkan berbagai benda kesehariandi ruang galeri sebagai upaya untuk menafikan fungsi keseharian si benda, dan mengubah mekanisme exchange value (atau exhibition value jika merujuk pada terma Walter Benjamin), menjadi sign exchange value.
“…most Duchamp’s readymades proposed that object of use value be substituted for object of aesthetic and/or exchange/exhibition value: a bottle rack in place of a sculpture or, reciprocally a Rembrandt used as an ironing board. Most Koons and Steinbach’s Readymades do the opposite: They present objects of exchange/ exhibition in the place of art in a way that cancels use… In general they intimate that all these values—aesthetic, use, and exchange-exhibition—are now subsumed by ‘sign exchange value’.”[i]

Mencermati beberapa objek yang dihadirkan seniman di pameran Disthing: Objects of Discontentment, tersematkannyasign exchange value pada karya mereka dapat terdeteksi dengan mudah. Hadir semacam upayamark upvalue, atau kalau tidak semacam usaha penggaransi nilai karya, terutama mengingat karya para seniman di sini, kebanyakan tidak menyajikan found object  apa adanya, melainkan membangun objek yang sengaja dibuat menyerupai kecenderungan readymades-nya Duchamp. Hal ini bisa dilihat pada karya Bagus Pandega, Budi Adi Nugroho, Cecilia Patricia Oentoro, Faisal Habibi, dan Leonardiansyah Allenda.Kesemua seniman ini membangun karya dari nol (from scratch), namun alih-alih membentuk objek yang original, mereka justru mengkopi atau mensimulasi objek yang sudah duluan ada dan akrab dalam realitas keseharian manusia kontemporer; seperti misalnya: gramofon, balok sampah, stool, chandelier, alat kontrasepsi,.dsb

Jika dicermati, penggunaan simbol dan penanda sebagai empasis pada wacana komoditas, konsumerisme, dan advance capitalism, sering sekali tampil pada karya-karya seni rupa kontemporer.Istilah hypercritical, menjadi tuduhan yang sering dilayangkan pada gejala seperti ini. Dalam pemahaman yang lebih ekstrim, ada sebuah tesis yang menyebutkan bahwa, hampir serupa dengan kondisi seni modern yang mensasar aura mistis formalisme sebagai kesejatian, seni di masa hypercritical pun mendeteksi aura mistisnya melalui tampilan-tampilan yang stereotipikal dan permukaan. Melalui pernyataan yang cukup tajam, Walter Benjamin pernah memprediksi hadirnya kenyataan seperti ini,“The cultural need to compensate the lost aura of art with ‘the phony spell’ of the commodity and the star.”[ii]

Sesungguhnya tesis bahwa advance capitalism mempengaruhi sistem hidup manusia secara menyeluruh, merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri.Logika komodifikasi secara mendasar telah merubah mekanisme system of object yang hadir dalam realitas kontemporer. Dalam artikel berjudul: The Ecstacy of Communications, Jean Baudrillard mengungkapkan, bahwa system of Object yang linier sudah tak berlaku lagi dalam dunia yang sudah terlanjur dilekati mekanisme produksi dan konsumsi. Kenyataannya hadir rasio baru yang menentukan nilai objek-objek dalam kebudayaan.Kegiatan konsumsi berhasil menghasilkan tanda-tanda baru, menciptakandiferensiasi, membentuk status dan prestige bagi berbagai objek yang hadir di kehidupan manusia masa kini.
There is no longer any system of objects… Behind these logics, in some way descriptive and analytic, there was already the dream of symbolic exchange, a dream of a status of the object and consumption beyond exchange and use, beyond value and equivalence. In other words, a sacrificial logic of consumption, gift, expenditure (dépense), potlatch, and the accursed portion.”[iii]

Melalui tesis Baudrillard di atas, maka disadari jika objek-objek yang kita temuidi kenyataan mengandung ribuan kemungkinan makna dan nilai.“Objek” menjadi sebuah kondisi yang dibentuk oleh posisi kita sebagai konsumen atau setidaknya sebagai subjek yang turut terlibat dalam mekanisme komodifikasi.Bahkan exchange value karya seni diperumit oleh hadirnya aesthetic value yang memberikan nilai surplus pada dirinya saat berkomunikasi dengan pola expenditure para konsumen karya seni (dalam hal ini art collectors).Hadirnya amplifikasi nilai aesthetic value pada karya seni, secara otomatis berkonsekuensi pada  amplifikasi nilai pada subjek konsumennya dalam bentuk prestige.[iv]

Objek-objek yang dipamerkan di pameran ini merupakan satu dari sekian ribu partisipan dalam dikursus seni rupa kontemporer—yang juga digarisbawahi keterlibatannya dengan mekanisme komodifikasi.Karenanya karya yang hadir juga telah memasuki mekanisme rumit dalam transaksi nilai antara aesthetic, use, exchange/exhibition, dan sign value.Muncul satu hal yang menarik untuk dicermati pada konfigurasi karya pameran Disthing: Objects of Discontentment ini; yakni kuatnya upaya para seniman partisipan untuk memproduksi karya yang terjaga kualitas estetisnya.Hal ini bisa dilihat secara sederhana melalui jerih payah mereka mengkopi/mensimulasi berbagai benda keseharian, dengan cara membangun ulang, alih-alih menyasar metode readymades ala Duchamp.Asumsi yang kemudian terbangun adalah, mereka cenderung melanjutkan tradisi para pengusung kecenderungan Commodity Sculpture, seperti Jeff Koons, Haim Steinbach, Ashley Bickerton, dan lainnya.Bisa jadi dikarenakan kecenderungan ini secara histories belum berpaut jauh dengan kondisi seni rupa masa kini, sehingga kaitan urgensi di antara wacana commodity sculpture ala Jeff Koons dkk., dengan wacana seni rupa yang berkembang saat ini masih berkait cukup erat.

Disthing: Objects of Discontentment
Pameran Disthing: Objects of Discontentment ini menghadirkan “objek-objek” karya delapan seniman yang menampakkan kualitas “discontent”. Dalam hal ini dasar kata discontent dipilih sebagaisubjudul, untuk menekankan aspek “ketidakpuasan” akan stagnansi nilai, atau menekankanketakajegan serta adaptibilitas karya seni,saat menyajikan ulang realitas ke dalam bentuk objek-objek baru yang diciptakan melalui berbagai rute dalam seni rupa kontemporer. “Disthing” sendiri sebagai tajuk utama, dipilih dengan menimbang aspek permainan kata-kata yang melekatkan prefiks “dis”untuk meniadakan makna “thing” pada frasa yang bersangkutan.Objek yang terlibat dalam pameran inimemang memiliki kaitan yang akrab/ familiar dengan benda keseharian, namun keterlibatan objek-objek ini dalam lingkungan galeri, tentunya berimplikasi pada naiknya valueyang mereka kandung.Karenanya terotomasi logika bahwa mereka bukanlah sekadar objek, atau sekadar benda, melainkan sebuah karya seni (objet d’art).Dengan pemahaman seperti inilah frasa “Dis-Thing” menempati fungsi operatifnya.

Karya Bagus Pandega yang berjudul “Remembering and Forgetting” sedikit banyak masih menunjukkan ciri khas karya-karyanya selama ini. Penggunaan elemen kinetis serta penggabungan antar berbagai elemen found object, memang seolah menjadi marka identitas bagi karya-karya Bagus. Seperti juga kecenderungannya selama ini, Bagus gemar memainkan kemungkinan “mutasi” bentuk dari objek-objek yang dikenal secara akrab di keseharian. Pada “Remembering and Forgetting”, corong gramofon yang biasanya tunggal dan berukuran besar, ia ubah menjadi sekumpulan corong  gramofonberpostur kecil, langsing, dan tinggi. Yang kemudian menarik untuk disimak pada karya ini adalah bagaimana Bagus membalik logika umum sebuah gramofon: alih-alih membuat piringan hitam berputar, Bagus malah memberikan efek kinetis berputar pada corong-corong gramofon miliknya. Bagus tampak merayakan penuh tagline pameran ini, dengan cara “mendistingsi” objek gramofon miliknya menjadi sebuah gramofon yang absurd dan janggal saat ditabrakkan dengan rasio para pemirsanya, yang sudah barang tentu akan membandingkan karyanya ini dengan objek gramofon yang umum mereka kenal di keseharian.

Budi Adi Nugroho, yang selama ini dikenal gemar berkarya melalui trajektori Commodity Sculpture dan metode apropriasi,  kali ini juga menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah simbol-simbol populer ke dalam karya  berjudul  “Pressed Junk”.  Pada “Pressed Junk” Budi menyajikan tokoh fiksi Jepang yang cukup populer: Ultraman, ke dalam bentuk balok yang umum dikenal juga sebagai salah satu mekanisme pembuangan sampah di negara maju. Ada semacam upaya “transaksi” value pada karya Budi ini, yang mengasosiasikan elemen kitsch (pada objek ultraman), penanda berupa “sampah”, dengan penggunaan warna emas yang merupakan simbol untuk benda dengan exchange value yang tinggi.

Karya Cecilia Patricia Oentoro yang berjudul “Cautios” bisa dikatakanmerupakan sebuah karya yang memanfaatkan permainan persepsi saat bersinggungan dengan objek-objek yang familiar di keseharian. 
Patrice (sapaan akrab Cecilia), membuat sekumpulan objek terbuat dari gelas, yang kurang lebih menyerupai berbagai macam bentuk kondom; yang kemudian ia susun sedemikian rupa hingga membentuk sebuah objek baru berupa Chandelier. Pembubuhan judul “Cautious” tentunya seiring dengan intensi Patrice menghadirkan objek serupa kondom, yang berasosiasi juga dengan material gelas yang rapuh dan rentan melukai.“Cautious” saat terkonfigurasi ke dalam bentuk chandelier juga membentuk sebuah impresi baru, yakni intimidasi akan suatu hal yang tidak diharapkan, saat kumpulan gelas berbentuk phallus tampak hendak menghunjam  ke arah pemirsa di bawahnya.

Karya Dewi Indah yang berjudul “After Fontana” kentara merujuk pada karya seniman spatialism, Lucio Fontana.Penggunaan elemen menyerupai semacam membran yang menutupi bidang lukisan, yang kemudian dirobek sedemikian rupa, memang merupakan identitas karya-karya Lucio Fontana.Sebuah lukisan akrilik di atas kanvas, yang menggambarkan puluhan perempuan berambut panjang tengah bercengkerama, menjadi objek yang disembunyikan Dewi di balik membran tersobek tadi.Lukisan ini, secara familiar akan mengingatkan kita pada corak seni lukis tradisional Jepang. Di sini, kita akan menemui sebuah relasi yang janggal, saat Dewi menempatkan lukisan dengan motif sedemikian rupa dengan sebuah upaya copycatterhadap metode salah satu pelopor gerakan minor dalam seni rupa modern (Fontana). Namun seperti juga karya Untitled, yang turut Dewi sertakan juga dalam pameran ini; objek-objek yang iahadirkan memang merupakan permainan jalin kelindan antar berbagai penanda yang bebas ia padu-padankan menjadi hubungan yang saling memberi dan menabrakkan nilai. Pada karya Untitled, misalnya, Dewi menabrakkan aspek personal dengan kode-kode visual yang turut ia hadirkan di karya After Fontana. Pada karya ini, penempatan objek akrilik serupa tumpahan air, di tengah boks yang pada keempat dindingnya menampakkan lukisan tradisional Jepang ala Dewi seperti karya After Fontana miliknyatadi;merupakan strategi Dewi dalam mengkombinasikan berbagai elemen visual yang ia anggap menarik dan ingin ia tampilkan secara bersama-sama.

Faisal Habibi masih dengan kecenderungan karyanya selama ini, menampilkan sebuah karya objek dengan karakter desain yang cukup kentara. Yang menarik dari karya-karya Faisal selama ini,seperti juga tampildalam karyanya kali ini, adalah kemampuannya mendistorsi benda-benda furnitur menjadi sebuah karya dengan tampilan visual yang janggal namuntetap memiliki daya tarik tinggi untuk disimak.Pada pameran Disthing, karya Untitled milik Faisal berupa sebuah stool dengan bentuk kaki yang terdistorsi, merupakan contoh kuat karya dari trajektori Commodity Sculpture.Mutasi bentuk yang Faisal hadirkan pada karyanya ini  menyebabkanaspek fungsional stool sebagai perangkat duduk hilang sama sekali. Upaya cancelation nilai guna karyanya ini, merupakan sebuah konsekuensi yang hadir saat Faisal melakukan transaksi nilai karya, yang mengkomunikasikan use value sebuah objek desain dengan exchange value karyanya sebagai karya seni (objet d’art).

Karya Leonardiansyah Allenda pada pameran ini bisa dikatakan merupakan karya yang paling konseptual dibandingkan karya yang lain. Leo menghadirkan sekumpulan objek berupa apron, sapu, lap, kemoceng, dan pengki menjadi sebuah konfigurasi karya. Meskipun tampak seperti kumpulan found object, karya berjudul “Janitor” ini merupakan objek-objek yang dibangun secara seksama oleh sang seniman. Masih tampak tujuan estetis yang hendak disasar Leo, saat ia menggunakan warna monotone untuk setiap objek yang dihimpunnya, sekaligus saat ia memilih material berupa eboni (pada objek kemoceng/duster) dan stainless steel (pada objek pengki). Leo menyatakan bahwa objek-objek yang ia hadirkan hendak ia targetkan untuk mewakili sistem interaksi antara ruang dengan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya; dalam hal ini yang ia angkat adalah lingkungan ruang pamer. Tampilnya objek-objek janitor, yang berfungsi membersihkan, menurut Leo merupakan suatu perwakilan ide mengenai kegiatan bersih-bersih sebagai interaksi generik antara suatu ruang dengan subjeknya. Saat ia asosiasikan representasi bersih-bersih ini dengan keberadaan ruang pamer (galeri, museum, dsb), Leo menemukan bahwa objek yang dibersihkan di sini sebenarnya adalah exchange value yang dimunculkan karya seni, yang salah satunya adalah nilai monetary: uang. Karena itulah pada beberapa objek di karya Janitor ini, Leo memunculkan sekumpulan koin rupiah, sebagai perwakilan objek yang terjebak dalam interaksi antara ruang (ruang pamer: galeri, museum, dsb.) dengan subjek (pelaku seni: seniman, galerist, dsb.).

Objek sebagai kata kunci pameran ini nampaknya hadir sebagai abstraksi pada karya Windi Apriani yang berupa dua karya dua dimensi di atas kanvas.Penghadiran lukisan sendiri, sudah menjadi suatu penjamin bahwa objek yang dihadirkan Windi adalah sebuah karya seni (objet d’art).Namun yang hendak ditekankan Windi di sini adalah penghadiran mesin jahit sebagai objectof fascinationsang seniman. Windi sendiri menyatakan bahwa karyanya ini tidaklah dimaksudkan untuk menyampaikan narasi tertentu, namun lebih dititik-beratkan pada responnya saat disodori tawaran berpameran di ruang yang bertajuk “Disthing”.Di mata Windi sendiri “disthing” yang ia pahami adalah “bukan benda”, yang ia terjemahkan kembali sebagai sesuatu yang melepaskan diri dari identitas fungsi dan bentuk benda yang bersangkutan. Karena itu Windi menghadirkan kembali objek yang ingin ia tampilkan dalam bentuk citraan mesin jahit di atas kanvas. Hadirnya sang author  (Windi sendiri) sebagai salah satu citraan di atas kanvas bisa jadi merupakan strategi menempatkan narasi personal Windi, yang hendak menginformasikan bahwa objek mesin jahit yang hadir memiliki value tersendiri di mata sang seniman. Jika menyisir kembali sejarah objek mesin jahit ini, memang ditemui pengakuan personal si seniman yang memberi nilai cukup tinggi pada objek mesin jahit tersebut. Windi menyatakan bahwa salah satu mahar (mas kawin) yang dihadiahkan sang suami kepada dirinya saat menikah, adalah mesin jahit yang juga hadir di atas karyanya tersebut.

Yudi Arif Budiman pada karyanya yang berjudul Floating Stones, menghadirkan jalinan yang unik, antara persepsi visual manusia saat mencerap kontur, berat, dan dimensi benda; dengan analisa visual pada umumnya saat mengawasi sifat dan posisi benda tersebut di kenyataan. Pada karyanya ini Yudi memanipulasi knowledge para pemirsanya yang sudah terbiasa mempersepsi benda berupa batu dengan dimensi tertentu, sebagai objek yang berat dan pejal.Namun dengan arrangement tersendiri, Yudi menghadirkan objek “batu” miliknya pada posisi terapung. Dengan teknik khusus, Yudi memang mensimulasikan beberapa objek yang ia susun sedemikian rupa, sehingga menyerupai batu, supaya berada dalam kondisi terapung di ruang pamer. Terjadi pertemuan absurd dalam ruang persepsi para pemirsanya saat menyimak Floating Stones karya Yudi, yang seolah menolak kaidah alam ihwal sebuah batu yang biasa ditemui di kenyataan.Menyimak karya Yudi mengingatkan kita pada rute yang digunakan seniman patung Cornelia Parker dalam berkarya.Penguasaan ruang sekaligus juga masifnya efek yang ditampilkan Yudi, membuat karyanya menjadi high profile dan menarik untuk disimak.

Mencermati keseluruhan karya pada pameran ini, kita menemukan adanya jerih payah para seniman partisipan dalam melakukan “transaksi” nilai sehingga value karya mereka menempati posisi seperti yang mereka harapkan. Namun karakter personal dan idiosinkrasi masing-masing seniman yang tetap hadir dalam upaya tersebut, menimbulkan kombinasi yang dapat menghasilkan ragam bentuk visual yang tentunya menarik untuk diperhatikan.Disthing: Objects of Discontentment merupakan titik temu antara berbagai variabel komunikasi dalam diskursus seni rupa saat berjalinan dengan aspek komodifikasi dalam kehidupan kontemporer, yang kemudian dijewantahkan seniman dalam bentuk respon balik yang khas dan idiosinkratik.
Asmudjo J Irianto
Dinni Tresnadewi Nf




[i] Hal Foster, The Return of the Real, Massachusetts: MIT Press, 1999, hal. 112
[ii] Ibid, hal 114
[iii] Jean Baudrillard, The Ecstasy of Communication, dalam The Anti-Aesthetic Essays on Postmodern Culture, Editor: Hal Foster, Port Townsend: Bay Press, 1983, hal. 126
[iv] Foster, op. Cit., hal 109

Selasa, November 05, 2013

Synecdoche, New York: Theatrum Mundi sang Charlie Kauffman

“Kebenaran mulia yang pertama: hidup adalah penderitaan,”  atau seperti itulah sabda Siddharta Gautama. Dari keempat kebenaran mulia Buddha agaknya Charlie Kauffman berhenti di butir pertama saja. Kesimpulan ini diambil setelah menonton Synecdoche: New York. Film debut penyutradaraan Kauffman ini memang mampat dengan adegan depresif memualkan, sehingga berbuah ganjaran kritikus hanya senilai 69% di Rotten Tomatoes (akhir tahun 2013). Nilai yang mengecewakan jika hendak dibandingkan dengan karya penulisan Kauffman sebelumnya(: Being John Malkovich, Adaptation, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, etc). Tapi kita berbicara tentang karya sang Kauffman yang brillian, yang menurut kritikus  Manohla Dargis senantiasa dibanjiri ajektiva berawal huruf “e”: eclectic, eccentric, edgy, dan eggheady (dan satu ajektiva “Q”: Quirky). Tapi di proyek ambisius Kauffman ini, agaknya kritikus bimbang, apakah  Synecdoche: New York  sebuah masterpiece atau sekadar over-self indulge project.

Opini kritikus mungkin menjadi Weltanschauung dunia perfilman; sebuah mekanisme otonom yang tunjuk jarinya terhadap harga si film tak bisa ditawar lagi. Lucunya pilihan kata Weltanschauung (the world view) menurut saya menjadi kunci bagi film ini. Terma ini di pemahaman saya dekat dengan penerapan Shakespeare pada frasa Theatrum Mundi: “All the World’s a Stage.” Sama seperti Shakespeare meletakkan karakternya dalam kondisi tak mampu berbuat banyak menghadapi terjangan nasib, Charlie Kauffman juga dengan kejam menempatkan Caden Cotard—karakter utama film—di posisi terhimpit antara “rock” and “hard surface”—Atau dalam kosakata komedik lokal diterjemahkan sebagai: “Maju kena mundur kena.”

Synecdoche menyuguhkan Theatrum Mundi ala Caden Cotard. Sebagaimana Hamlet, Othello, atau Macbeth berupaya mengambil kontrol kehidupan, Caden tak pernah benar-benar mampu mengendalikan nasibnya sendiri untuk lepas dari kemalangan. Padahal ia adalah sutradara untuk sebuah lakon raksasa, yang merupakan kopi dari secarik skenario kehidupan berjudul kota new York. Di sini manusia diposisikan sebagai objek, pion yang dikendalikan oleh gerak nasib. Karenanya hadir meta-subjek dalam lakon semacam ini, yakni dunia atau nasib atau kehidupan atau Weltenschauung sebagai aktor utama.
Caden Cotard si pria paruh baya dengan krisis kepercayaan diri, dihimpit oleh kenyataan (atau bahkan sekadar delusinya sendiri) bahwa tubuhnya yang tak lagi muda mulai sakit-sakitan dan fakta bahwa sang istri yang seniman, karirnya kian cemerlang. Seorang sutradara teater yang diakui, Caden stuck dalam berkreativitas sehingga hanya mampu memproduksi ulang karya orang lain. Caden berdelusi seolah tubuhnya meluruh sedikit demi sedikit. Suatu kebetulan absurd ala Kauffman, karena Cotard delusion adalah istilah medis untuk kondisi mental seseorang yang yakin bahwa dirinya tinggal jasad semata.

Terjebak dalam rasa cemburu akan istrinya yang berbakat sebagai seniman mini painting, Caden kian bernafsu untuk menciptakan magnum opusnya; sebuah mahakarya teater level raksasa. Di sini saya kira judul film relevan dengan kontennya, di mana masing-masing  Caden dan Adele (istri Caden) memproduksi karya dalam skala ekstrim yang saling bertolak belakang. Caden dalam sinekdok  raksasanya  yang menampilkan bagian besar mewakili individualitas (everybody is somebody); sedang Adele dalam sinekdok mini paintingnya, yang menunjukkan satu bagian kecil sebagai perwakilan keseluruhan entitas (somebody is everybody). Karya Caden boleh jadi masif dan efektif—menyerang publik dengan ukurannya yang meraksasa. Namun dengan sekadar mengkopi kehidupan penduduk New York secara literal, jelas bahwa iri hati Caden terhadap istrinya berpangkal pada kenyataan bahwa dirinya tak sanggup menyusul bakat dan sensitivitas seni sang istri. Saya kira Caden adalah sinekdok dari kebanyakan kita. Ego menuntun kita untuk menunjuk kehidupan sebagai biang kerok kesengsaraan hidup. Buruk rupa cermin dibelah. Dan Caden hendak menunjuk kehidupan sebagai si buruk rupa.

Di sinilah pangkal cerita bermula. Caden yang terobsesi untuk mengkopi kenyataan kehidupan di sekitarnya kian merangsek masuk ke dalam sinekdoke kota NewYork miliknya. Ia bongkar peran setiap individu yang singgah dalam hidupnya, dan layaknya tuhan, Caden mengkomando para aktornya untuk berlaku sesuai dengan skrip kehidupan yang ia alami. Dalam kehausan menghadirkan mini New York, datang seorang Sammy yang mengobservasi Caden luar dalam sejak lama, hingga ia sanggup menghayati jalan pikiran seorang Caden Cotard. Sammy sempurna menjadi Caden, sampai-sampai ia harus mati dalam kekecewaan karena jatuh hati pada pujaan hati Caden, Hazel. Kematian sang aktor utama menggerus kenyataan dalam pusaran simulasi gubahan Caden. Dan Caden pun menjadi Ellen—si pramuwisma fiktif yang tak pernah benar-benar bisa dipastikan kehadirannya di kenyataan, karena sejauh yang penonton bisa afirmasi ia hanyalah fabrikasi benak Caden saat ia berimajinasi memasuki apartemen fiksi Adele. Di akhir cerita kopi dan kenyataan saling tumpuk: simulasi melahap  yang aktual, replika menggerus yang sejati; dan Ellen yang fiktif mengambil lampu sorot dan menjadikan dirinya sebagai pemeran utama. Epilog yang dibawakan oleh Ellen—melalui suara Millicent, yang merupakan satu-satunya eksisten penanda kehadiran Ellen sebagai aktris yang memainkan peran Ellen—menjadi suatu penyimpul akan kesiasiaan kehidupan, dan akan kenyataan yang tak bisa dihindarkan bahwa everybody is somebody.

Menonton Synecdoche New York memang perlu ketahanan khusus, karena Kauffman—melalui sikap pahit Caden—benar-benar membongkar arti hidup hingga ke batas kemampuan orang untuk jujur menyatakan bahwa hidup itu tidak baik-baik saja. Epilog Ellen akan membuat siapapun terpusing dalam pusaran negativitas terhadap hidup. Tapi mungkin bukan soal hidup yang bersikap negatif, mungkin manusialah yang seringkali berpengharapan terlalu tinggi terhadap apa yang ditawarkan kehidupan. 

Di luar tema yang demikian memualkan, Synecdoche juga menawarkan plot yang jauh dari konvensional. Kemampuan sang penulis dalam membuyarkan konsentrasi penonton dalam membaca linieritas alur, memang patut diacungi jempol. Gagasan tentang membangun sebuah teater raksasa yang mengkopi kenyataan, saya kira bisa jadi adalah mimpi utopian sutradara manapun. Namun dalam eksekusinya, membangun simulasi yang dikontrol penuh oleh tangan seorang sutradara adalah hal yang mustahil; setidaknya ia akan tersesat dalam menentukan mana yang original dan mana yang tiruan. Dalam perspektif yang lebih luas, Synecdoche: New York menunjukkan meta-gagasan yang serupa; bahwa hidup adalah Theatrum Mundi bagi sang sutradaranya sendiri.

Akhir kata, dalam kerumitan dan keabsurdannya, Synecdoche New york tak bisa dinyatakan hanya sebagai filem one of the kind semata; Synecdoche New York, adalah the only kind of such a movie.  

Bandung, 5 November 2013

Kamis, Oktober 03, 2013

personal ramblings

"The best possible antidote to jealousy is to learn to be authentically yourself, and to love YOURSELF as your authentic you. That sets up a dynamic in which others love you for who you TRULY are... which means they love the REAL you, and you become more or less "irreplaceable" in their lives... and so the need for jealousy simply doesn't exist anymore."-someone over the Net-

Thanks internet wisdom!

Sabtu, September 07, 2013

An Essay for the Exhibition of Laurent Millet Project: "Drawing Shadows to Earth". Exhibited from September 7th to 22nd 2013 @ Lawangwangi Creative space Jl. Dago Giri 99, Bandung, West Java, Indonesia



Laurent Millet: Poetic Complexity

Menyimak karya Laurent Millet dalam pameran“Drawing Shadows to Earth”  impresi yang mungkin muncul di benak pemirsa adalah kesan dingin dan kesederhanaan visualnya. Namun jika pemirsa merujuk pada judul karya, atau lebih jauh lagi merujuk pada statementsang seniman, maka akan ditemui kenyataan bahwa karya Millet merupakan hasil dari jalinan gagasan yang sama sekali tidak sederhana. Menyimak karya-karya fotografi Millet pada pamerantahun 2010:“The Last day of Immanuel Kant”,hadir foto dari objek-objektridimensional yang tampak tak memiliki kaitan dengan judul pameran.Namun jika seseorang dengan cermat mengkorelasikan judul dengan konstruk visual karya, maka akan ditemukan jejak dari kerumitan gagasan yang dibangun Millet. Pameran yang disebut di atas merupakan judul dari pseudo-biography Immanuel Kant karya Thomas de Quincey.Kekaguman Millet akan karya literatur tersebut, berjalinan dengan ketajaman riset dan kapasitas artistiknya, terwujud dalam bentuk karya fotografiyang subtil, namun tetap menunjukkan sensibilitas visual.

Kegemaran Millet dalam membangun karya yang mereferensi berbagai sumber (sains, filsafat, kecenderungan seni para pendahulunya, fiksi, dsb.) berkait erat dengan aspek kognitif dalam kesenian.Meskipun secara awam karya seni sering direduksi sebagai objek sensual (mengandalkan kemampuan sensing)semata, namun premis tersebut mereduksi nilai seni yang sesungguhnya.Suatu objek seni memiliki sistem pemaknaan yang berkait erat dengan aspek kognitif baik dari sisi seniman (sebagai enconder makna) maupun apresiator (sebagai decoder makna).Karena pada hakikatnya kegiatan “melihat” bukanlah sebuah aktivitas perseptual yang dilakoni indera penglihatan saja. Lebih dari itu kegiatan “melihat” juga melibatkan aspek konseptualisasi yang akan bergantung pada sistem pengalaman dan pengetahuan si subjek itu sendiri. “Perception doesn’t just provide data picked up by the senses; it also plays an active role in conceptualization.”[i]Data visual yang dicerap seorang pemirsa saat melihat sebuah karya seni dimaknai bukan oleh mata sebagai indera penglihat, namun melalui mekanisme pemaknaan di dalam otak.Kita memberi makna pada suatu objek dengan menarik data-data visual dari pelbagai wilayah di otak yang sebelumnya kita konstruksikan sebagai suatu konsepsi, skemata, skrip kognisi, dan bentuk lainnya.[ii] Karenanya pembacaan suatu karya seni akan bergantung pada sistem pengetahuan si seniman sekaligus penikmatnya.

Bisa dikatakan karya-karya Millet erat kaitannya dengan variabel kognitif dalam seni rupa. Sebagai seorang encoder—pemroduksi kode-kode—Milletasyik  menghimpunlapisan demi lapisan pengetahuan yang ia anggap penting saat membangun karyanya.Jika dibandingkan dengan kecenderungan berkarya seniman Indonesia, jalur berkarya Millet bisa dibilang cukup berbeda karena melibatkan aspek pengetahuan yang cukup rumit.Bahkan keputusan finalisasi karya dalam bentuk foto pun merupakan salah satu pembangun sistem gagasan Millet yang padat topik. Dalam kesempatan wawancara, Millet menyatakan bahwa ia memang lebih memilih bekerja dengan citraan (foto) alih-alih menampilkan objek ciptaannya secara langsung. Bagi Millet setiap objek yang ia buat memiliki potensi citraanyang kuat dengan berbagai “fungsi” yang bisa ia manfaatkan. Fungsi dalam hal ini adalah fungsi yang berkaitan dengan aspek visual dan physical property si objek, yang bisa dikaitkan dengan objek-objek lain yang Millet anggap menarik dan penting.Dalam satu kesempatan pameran berjudul Petites Machines a Images misalnya, konfigurasi objek-objek yang Millet susun di pantai berelasi secara optis dengan lanskap pantai. Ketika objek-objek ini ia tembak dengan menggunakan kamera ber-eksposur tinggi, yang dihasilkan adalah foto berefek dwi-dimensional yang tampak bagai kertas bertorehkan coretan-coretan pena.

Berkaitan dengan penggunaan medium fotografi, Millet memang tak menyasar visualisasi yang “extravaganza” seperti yang dilakukan kebanyakan perupa kontemporer.Alih-alih meminjam simbol dan citraan yang berasal dari “grand-narration”nya seni kontemporer—seperti popular culture, bahasa media/iklan, dan bentuk-bentuk komoditas—Millet justru lebih suka menghasilkan citraan yang bernuansa (nuanced) lamat-lamat (subtle).Ambil contohkarya “Drawing Shadows to Earth” dalam pameran inimisalnya. Karya foto yang menampakkan interaksi antara objek-objek rektangular berwarna hitam dengan gunungan lumpur ini, merupakan karya yang me-reaktivasi karya seniman earth-art Sol Lewwit (:“The Burried Cube”), gaya  konstruktivist Casimir Malevich, dan kecenderungan antidrawing-nyaRobert Morris. Dalam hal ini Millet tengah berupayamentranskripsi gayatiga seniman besar tersebut, dalam konteks, jenis material, dan dimensi waktu yang baru. Konteks yang hendak dibangun Millet berkaitan dengan kondisi yang ia lihat di Indonesia, yakni kompleksitas relasi antara aspek-aspekindustri, natural, dan kultural di negeri ini. Berkaitan dengan olah citraan,“Drawing Shadows to Earth”  juga menghadirkan permainan optis antara material lumpur dengan pelbagai objek rektangular hitam yang hadir di dalamnya. Terkadang objek hitam tersebut tampak bagai lubang geometris di tengah kubangan lumpur, terkadang bagai sebuah bangunan mini yang tumbuh begitu saja dari dalam tanah, namun juga lebih sering hadir sebagai objek absurd yang seolah “tak ada urusan” untuk hadir di tengah tumpukan lumpur. Millet sendiri tak ingin menggiring persepsi pemirsa dalam pengertian yang tunggal. Merujuk kata-katanya dalam wawancara ia menyatakan: “...these black boxes can be seen several ways: geometrical shape, architecture, little caves, sculptures, industrial shape, spaces, or camera obscuras.”

Karya seorang Laurent Millet memang merupakan sebuah complex intersectionantara berbagai aspek dari berbagai cabang ilmu.Karya objek berjudul “Black Maria” adalah salah satu contohnya.Karya yang bisa disebut sebagai sebuah homage bagi Thomas Alva Edison ini, diinspirasi oleh studio sinema pertama di dunia (bernama black Maria) dan pabrik separator bijih besi—yang keduanya digagas si raja paten, Edison. Secara perseptual pemirsa digiring Millet untuk menyaksikan bangkitnya Black Maria dan ore separator yang dibangun Edison di masa lalu.Millet membakar struktur karyanya ini terlebih dahulu, untuk mencapai efek hitam legam seperti halnya bangunan Black Maria-nya Edison.“Black Maria” Millet terdiri dari replika black Maria milik Edison yang ditempatkan saling bertolak belakang dengan replika ore separator. Kedua replika bangunan tersebutbertumpu pada satu platform yang sama. Struktur ini direbahkan di atas timbunan pasir hitam seperti kapal terdampar.

Tak seperti kebanyakan karyanya yang secara visual lebih banyak mempermainkan aspek formal, “Black Maria” tampak lebih representasional.Upaya replika, meskipun tidak secara langsung, dan juga metode menghadirkan objek secara langsung—alih-alih menampilkan citraan objek, menjadikan karya Millet ini tampak berbeda dengan kecenderungannya selama ini.Namun aspek penyatuan berbagai layer persoalan dalam berkarya masih sangat kentara terasa.Kekaguman Millet terhadap sosok Edison, terhadap persoalan citraan, dan juga sorotan persoalan industri, alam (lingkungan hidup), dan kultur manusia dalam proyeknya kali ini; saling berkelindan dan tersimpul dalam “Black Maria” yang dalam legam dan dimensinya tampak padat dan kokoh.

Karya berjudul “Untitled: Mount Merapi” bisa ditempatkan sebagai penanda bagi aspek “lokasi” dalam keseluruhan proyek yang Millet garap kali ini. Millet menyatakan bahwa iaingin membangun korelasi antaraCrazzanes (lokasi di Perancis yang menarik minat Millet di proyek sebelumnya) dengan lokasi yang ia temui di Indonesia. Merapi—atau tepatnya ladang lahar Merapi—lebih kurang memang mirip dengan Crazzanes, di Perancis, yakni dalam keberadaannya sebagai situs ekskavasi material tambang; jika Merapi menyediakan pasir, maka Crazzanes memasok batu kapur. Satu lagi yang kemudian membuat Millet memilih dua situs ini sebagai objek fasinasinya, yakni pertemuan antara aspek industri, kultur, dan natural di kedua lokasi, telah menyisakan jejak bentuk yang dapat dinikmati secara visual. Di ladang lahar Merapi, sisa kerukan penambang dan tumpukan pasir telah membentuk topografi yang unik. Bentuk-bentuk seolah ngarai, lembah, dan tebing; mengacaukan persepsi akan dimensi dan ruang bagi para pemirsa karya Millet ini. Ke-10 karya dalam bentuk foto ini, dibuat Millet dengan pendekatan dokumentatif, sehingga tampak apa adanya, jauh dari kesanmencari efek estetis dan dramatis.

Berkaitan dengan ketertarikannya dalam olah image dan dunia sinematografi, Millet juga tentunya terbiasa dengan medium video. Pada karyanya “Crazzanes” Millet masih mengolah gagasan akan kompleksitas interaksi antara alam, industri, dan kebudayaan. Pada “Crazzanes” Millet dengan cermat menggugah pemirsanya akan aspek displacement atau ketakhadiran. Pada video ini kita digiring memasuki ceruk seolah-terowongan, yang terbentuk dari kegiatan ekskavasi batu kapur.Ceruk-ceruk berbentuk geometris ini secara signifikan menandai hadirnya aspek kultural (baca: campur tangan manusia) di sebuah situs yang aspek naturalnya masih sangat mendominasi.Gua berbentuk rektangular seolah berjalin kelindan dengan vegetasi yang dengan subur menyelimuti rongga-rongga tebing.Efek displacement dan ketakhadiran muncul saat kita menyadari bahwa rongga-rongga di tebing ini adalah material yang dikeruk oleh industri untuk kepentingan kultural manusia.Millet mengambil idiom carving dalam membangun sebuah patung untuk menjelaskan ketertarikannya dalam mengobservasi Crazzanes. Logika membentuk dan membuang material yang tidak diperlukan dalam memahat patung, ia sejajarkan juga dalam proses pembentukan gua-gua di Crazzanes.

Pada karya videonya yang lain: “Equivalence”,  titik berat Millet adalah pada fasinasinya terhadap citraan dan berbagai isu dalam sains, fislsafat, dan dunia bahasa. Dalam video ini, Millet menggabung berbagaifootage yang ia himpun secara pribadi dari internet atau sumber lainnya. Selain aspek citraan, Millet juga menghimpun berbagai isu yang memang mencirikan karya-karyanya selama ini; seperti misalnya penyebutan sosok dominan di dunia sains dan filsafat (dalam hal ini Goethe); keterlibatan aspek visual-formal yang memberikan efek perseptual tertentu bagi para pemirsanya (mekanika fluida dan gerak ombak misalnya) ; juga diangkatnya isu-isu yang menjadi objek ketertarikannya (dalam hal ini aspek bahasa, simbol, dan sains). Relasi yang dibangun dalam “Equivalence” di antaranya penghimpunan imaji dan footage mengenai observasi Goethe akan bentuk dan material awan; gerak lautan dan adegan ledakan saat Perang Dunia 2;perang membongkar bahasa sandi antara Inggris dan Uboat milik Jerman ;isu Alan Turing yang menemukan metode algoritma dalam pembangunan komputer pertama di dunia; pengalaman Nasa dan bagaimana para ilmuwannya berbicara mengenai objek riset mereka; berbagai adegan metereologis; dan juga beberapa footage dari laboratorium mekanika fluida di Perancis.

Kesemua karya yang dihadirkan dalam pameran ini sedikit banyak memberi gambaran mengenai sosok Millet yang intelektual dan berdedikasi terhadap perannya sebagai seorang seniman.Fitur-fitur ini inheren juga dalam kehidupannya di luar berkesenian. Saat ia mengujungi India beberapa tahun yang lalu misalnya. Kecenderungan intelektualnya untuk berpaling pada buku-buku dan berbagai informasi saintifik menjadi pilihan untuk menjawab kegelisahannya saat berinteraksi dengan kultur yang serba asing. Dengan berbekal ketakjuban pada pusat observasi di Jantar Mantar, Jaipur; juga dengan panduan berupa buku De Rerum Natura-nya Lucrezia, Millet berhasil menggubah karya yang bertitik berat pada konsep movement manusia.
Sosok Laurent Millet memang bisa dikatakan sebagi sosok yang idiosinkratik jika dibandingkan dengan seniman kontemporer Indonesia.Keasyikannya dalam mencipta objek dengan kelindan makna yang rumit, tumbuh dari upayanya untuk percaya diri terhadap karya yang dihasilkan. Dalam kesempatan wawancara Millet menyatakan bahwa salah satu problem berkarya rupa adalah ketakyakinan seniman pada objek ciptaannya, yang biasanya berakibat sang seniman memberikan penjelasan terlampau jauh. Mungkin patologi seperti inilah yang menjangkiti kebanyakan seniman muda saat ini.Penjelasan verbal yang overflowing sesungguhnya merupakan langkah yang kurang strategis, karena akanmembatasi kemungkinan pembacaan/pemaknaan yang lebih kaya.
“This is part of my confident, to say that my object can be read in different layers… the object in itself is full of possibilities. The more you said about it the more you restraining it. But you can’t also leave it as it is…to say nothing… So its really difficult to find the balance… we talked about it very often, me and my student, because sometimes we said too much, so it killed the possibilities (of the artwork)…”[iii]

Kebiasaan Millet mengolah sekian banyak subject-matter dari berbagai cabang pengetahuan mungkin menambah resiko kian minimnya kemampuan baca pemirsanya.Namun hal inilah yang menantang Millet untuk lebih percaya diri terhadap objek-objek ciptaannya.Lagi pula rumitnya sistem gagasan yang dibangun Millet ternyata tak lantas membuat dirinya menjadi lumpuh dalam mengolah sensualitas bentuk karya.Dalam kematangan pengalamannya, Millet mampu menghasilkan karya dengan ragam formal yang appealing secara visual, meskipun konsepsi gagasannya cukup rumit dengan multi-lapis persoalan.

Karya Millet yang rumit dengan nuansa visual yang lamat-lamat ini, menjadikan karyanya bagai suatu kompleksitas yang puitis (Poetic complexity).Upaya untuk membaca dan memaknai karya-karyaMillet mungkin akan menjadi tantangan tersendiri bagi publik seni Indonesia. Memahami metode berkarya Millet ibaratnya sebuah kesempatan untuk memicu sofistikasi berpikir dan pembacaan yang lebih komprehensif terhadap karya seni. Sebab selama ini publik seni Indonesia lebih sering dimanjakan oleh karya-karya yang secara visual tampakobvious, extravaganza, dan over-ornate.Perlu disadari keluasan pengetahuan, keterbiasaan meriset dan kegemaran menghimpun informasi menjadi modal utama untuk membangun diskursus seni rupa yang lebih canggih.

Asmudjo Jono Irianto
Dinni Tresnadewi Nf



[i] Graeme Sullivan, Art Practice as Research: Inquiry in the Visual Arts, London: Sage Publications, 2005, hal. 118
[ii] Ibid, hal. 119
[iii] Millet, Laurent. 2013. Wawancara di Lawangwangi Creative Space, jl. Dago Giri no. 99, Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Selasa, April 16, 2013

Jumat, April 12, 2013

Automatic Baby!

Yang melatari tulisan ringan ini adalah stumble across-nya saya pada kenyataan akan adanya rivalitas di antara REM dan U2 (meskipun mungkin semata hadir di benak para fansnya saja). Secara pribadi band yang saya sebut di awal adalah musik utama dalam hidup saya, sedang yang kedua: I barely listen to their music. Setelah saya coba dengar beberapa lagu besutan U2, saya yakin saya tidak bisa membuat review yang unbiased. Tapi yang bisa saya pahami kemudian, hanya sebuah ketersadaran mengenai kenapa saya amat menggemari musik Peter Buck dan kawan-kawan. Karena kalaupun saya hendak mendengarkan U2 lebih jauh, saya pikir saya tetap akan menjuarakan REM di atas mereka. Bukan karena saya temui musikalitas REM ada di atas U2, namun lebih karena musik produksi REM kompatibel dengan karakteristik manusia macam saya.

REM is nothing but subtle and blurry, sedangkan U2 adalah epitome dari kelugasan dan kepercayaan diri. Bono akan selalu tampil bersinar di bawah spotlight, lantang menyanyikan keyakinannya; sedang Stipe akan selalu menjadi Michael yang awkward dengan kostum aneh yang tak pernah berdamai dengan status selebritisnya. Beberapa tahun yang lalu ketika menemukan video REM pertama kali tampil dalam sebuah acara talkshow membawakan "So Central Rain", saya merasa sangat terhubung dengan pribadi Stipe yang terduduk malu di belakang David Lettermen. Sebelum lagu dimulai, Letterman malah mewawancarai Peter Buck—the guitarist not the vocalist! Kentara sekali Michael Stipe sedang menghindari perhatian publik tertuju pada dirinya.

U2 adalah band yang hebat dan musisi legendaris, no point debating the fact. Tapi sebagai fans REM saya tak bisa membiarkan harga mereka tergerus nama besar Band Irlandia tersebut. Jika harus dibandingkan, REM memang quirky ketimbang U2 yang keren dan outspoken. Tapi mungkin di situlah REM mengambil hati para fansnya. Akan sangat mudah mengkodifikasi lirik-lirik lagu garapan Bono, tapi tak seorang pun bisa menangkap dengan pasti maksud Stipe saat dia menggumamkan bait demi bait lirik yang ia susun. Siapa sih yang bisa mengartikan “gardening at night” atau kenapa “aluminum tastes like fear”? Stipe membongkar sistem makna tiap kata seenak perutnya, tapi di situlah saya rasa kekuatan REM; kita para apresiator bebas memaknai lirik mereka yang “hyper-ambiguous.” 

Di saat REM menyuarakan keyakinan politik mereka, ambiguity never left their music. Salah satu album favorit saya, Document, adalah album yang cukup sarat isu politik, namun masih tersampaikan dengan gaya mereka yang kabur dan kaya idiom. Favorit saya "Disturbance at the Heron House", merupakan pengejawantahan benak Michael Stipe saat ia mengkorelasikan fakta dan fiksi antara pemerintahan Ronald Reagan dengan kisah garapan George Orwell: "Animal Farm." Tak seorang pun yang dapat mengambil kesimpulan ini jika tak bertanya langsung pada si empu lagu. Coba dengar saja: ”The gathering of grunts and greens. Cogs and grunts and hirelings. A meeting of a mean idea to hold.” Bandingkan dengan Seconds garapan U2 yang sangat eksplisit bercerita tentang perang nuklir di era Reagan: “USSR, GDR, London, New York, Peking. It's the puppets, it's the puppets. Who pull the strings.”

Tapi di luar kecenderungan mereka dalam bergaya di lirik lagu, musik tetaplah musik yang dinilai oleh telinga bukan oleh daya nalar kita. U2 tetaplah musisi hebat. Tak bisa dipungkiri musik mereka diterima telinga dengan sangat baik. Saya yang awam teknik musik, mengandalkan sense dalam menilai mana musik baik dan tidak; dan harmonisasi nada yang dibawakan U2  dinilai telinga saya sebagai produk band maestro. Jika dibandingkan dengan mereka, REM terdengar inkonsisten. Selalu ada lonjakan nada atau belokan bait yang tak disangka-sangka dalam lagu-lagu REM. Tapi, kembali, justru quirkiness semacam inilah yang membuat REM saya cintai sepenuh hati. Mereka bereksperimen dengan berbagai alat musik yang  dianggap tabu oleh Rock pada zamannya (mandolin dalam Losing my Religion, misalnya). Mungkin kejutan-kejutan semacam inilah yang menjadikan REM berbeda. 

U2 boleh jadi mencetak jauh lebih banyak rekor penjualan dan bersuara dalam politik lebih lantang dibanding band kampung asal Georgia AS, ini, tapi tak seorang pun yang bisa menafikan kenyataan bahwa REM-lah yang bertanggungjawab akan munculnya frasa  “alternative rock,” dan menjadikannya terma musik yang kanon.
Jika hendak dianalogikan “pertarungan” antara dua band legenda ini layaknya rivalitas antara Star Wars dan Star Trek. Kesemua produk kultur ini sama-sama memiliki fandom yang tidak kecil, dan konon seseorang tidak bisa menyukai Star Wars sekaligus menyukai Star Trek. Begitupun dengan band yang sedang kita obrolkan ini: you either an REM fans or a U2 fans. U2 yang lugas dan dramatis mewakili Star Wars dan REM yang rumit dan artistik mewakili Star Trek. 

Tapi semua persaingan ini cuma meletup dalam benak kita, para fans. U2 dan REM adalah band anggun yang tak peduli dengan kompetisi penjualan rekaman atau persaingan mengenai seberapa penting isu yang mereka usung dalam musik. Sama seperti judul tulisan ini, keduanya bahkan pernah tampil bersama dalam sebuah supergroup: Automatic Baby. Ah ya, kita para fans hanyalah anak-anak kecil yang bergelayut manja pada patron kita. Mati-matian membela nama baik mereka dalam persaingan yang tak pernah hadir di kenyataan…

Minggu, Maret 24, 2013

my plan with the site

I've been using this site as a personal ramblings for more than 4 years now. I decided now it's time to use this humble space to publish my humble comic. If you, kind guests and readers, had time, please leave comments, critics, and suggestions ;)