Selasa, November 05, 2013

Synecdoche, New York: Theatrum Mundi sang Charlie Kauffman

“Kebenaran mulia yang pertama: hidup adalah penderitaan,”  atau seperti itulah sabda Siddharta Gautama. Dari keempat kebenaran mulia Buddha agaknya Charlie Kauffman berhenti di butir pertama saja. Kesimpulan ini diambil setelah menonton Synecdoche: New York. Film debut penyutradaraan Kauffman ini memang mampat dengan adegan depresif memualkan, sehingga berbuah ganjaran kritikus hanya senilai 69% di Rotten Tomatoes (akhir tahun 2013). Nilai yang mengecewakan jika hendak dibandingkan dengan karya penulisan Kauffman sebelumnya(: Being John Malkovich, Adaptation, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, etc). Tapi kita berbicara tentang karya sang Kauffman yang brillian, yang menurut kritikus  Manohla Dargis senantiasa dibanjiri ajektiva berawal huruf “e”: eclectic, eccentric, edgy, dan eggheady (dan satu ajektiva “Q”: Quirky). Tapi di proyek ambisius Kauffman ini, agaknya kritikus bimbang, apakah  Synecdoche: New York  sebuah masterpiece atau sekadar over-self indulge project.

Opini kritikus mungkin menjadi Weltanschauung dunia perfilman; sebuah mekanisme otonom yang tunjuk jarinya terhadap harga si film tak bisa ditawar lagi. Lucunya pilihan kata Weltanschauung (the world view) menurut saya menjadi kunci bagi film ini. Terma ini di pemahaman saya dekat dengan penerapan Shakespeare pada frasa Theatrum Mundi: “All the World’s a Stage.” Sama seperti Shakespeare meletakkan karakternya dalam kondisi tak mampu berbuat banyak menghadapi terjangan nasib, Charlie Kauffman juga dengan kejam menempatkan Caden Cotard—karakter utama film—di posisi terhimpit antara “rock” and “hard surface”—Atau dalam kosakata komedik lokal diterjemahkan sebagai: “Maju kena mundur kena.”

Synecdoche menyuguhkan Theatrum Mundi ala Caden Cotard. Sebagaimana Hamlet, Othello, atau Macbeth berupaya mengambil kontrol kehidupan, Caden tak pernah benar-benar mampu mengendalikan nasibnya sendiri untuk lepas dari kemalangan. Padahal ia adalah sutradara untuk sebuah lakon raksasa, yang merupakan kopi dari secarik skenario kehidupan berjudul kota new York. Di sini manusia diposisikan sebagai objek, pion yang dikendalikan oleh gerak nasib. Karenanya hadir meta-subjek dalam lakon semacam ini, yakni dunia atau nasib atau kehidupan atau Weltenschauung sebagai aktor utama.
Caden Cotard si pria paruh baya dengan krisis kepercayaan diri, dihimpit oleh kenyataan (atau bahkan sekadar delusinya sendiri) bahwa tubuhnya yang tak lagi muda mulai sakit-sakitan dan fakta bahwa sang istri yang seniman, karirnya kian cemerlang. Seorang sutradara teater yang diakui, Caden stuck dalam berkreativitas sehingga hanya mampu memproduksi ulang karya orang lain. Caden berdelusi seolah tubuhnya meluruh sedikit demi sedikit. Suatu kebetulan absurd ala Kauffman, karena Cotard delusion adalah istilah medis untuk kondisi mental seseorang yang yakin bahwa dirinya tinggal jasad semata.

Terjebak dalam rasa cemburu akan istrinya yang berbakat sebagai seniman mini painting, Caden kian bernafsu untuk menciptakan magnum opusnya; sebuah mahakarya teater level raksasa. Di sini saya kira judul film relevan dengan kontennya, di mana masing-masing  Caden dan Adele (istri Caden) memproduksi karya dalam skala ekstrim yang saling bertolak belakang. Caden dalam sinekdok  raksasanya  yang menampilkan bagian besar mewakili individualitas (everybody is somebody); sedang Adele dalam sinekdok mini paintingnya, yang menunjukkan satu bagian kecil sebagai perwakilan keseluruhan entitas (somebody is everybody). Karya Caden boleh jadi masif dan efektif—menyerang publik dengan ukurannya yang meraksasa. Namun dengan sekadar mengkopi kehidupan penduduk New York secara literal, jelas bahwa iri hati Caden terhadap istrinya berpangkal pada kenyataan bahwa dirinya tak sanggup menyusul bakat dan sensitivitas seni sang istri. Saya kira Caden adalah sinekdok dari kebanyakan kita. Ego menuntun kita untuk menunjuk kehidupan sebagai biang kerok kesengsaraan hidup. Buruk rupa cermin dibelah. Dan Caden hendak menunjuk kehidupan sebagai si buruk rupa.

Di sinilah pangkal cerita bermula. Caden yang terobsesi untuk mengkopi kenyataan kehidupan di sekitarnya kian merangsek masuk ke dalam sinekdoke kota NewYork miliknya. Ia bongkar peran setiap individu yang singgah dalam hidupnya, dan layaknya tuhan, Caden mengkomando para aktornya untuk berlaku sesuai dengan skrip kehidupan yang ia alami. Dalam kehausan menghadirkan mini New York, datang seorang Sammy yang mengobservasi Caden luar dalam sejak lama, hingga ia sanggup menghayati jalan pikiran seorang Caden Cotard. Sammy sempurna menjadi Caden, sampai-sampai ia harus mati dalam kekecewaan karena jatuh hati pada pujaan hati Caden, Hazel. Kematian sang aktor utama menggerus kenyataan dalam pusaran simulasi gubahan Caden. Dan Caden pun menjadi Ellen—si pramuwisma fiktif yang tak pernah benar-benar bisa dipastikan kehadirannya di kenyataan, karena sejauh yang penonton bisa afirmasi ia hanyalah fabrikasi benak Caden saat ia berimajinasi memasuki apartemen fiksi Adele. Di akhir cerita kopi dan kenyataan saling tumpuk: simulasi melahap  yang aktual, replika menggerus yang sejati; dan Ellen yang fiktif mengambil lampu sorot dan menjadikan dirinya sebagai pemeran utama. Epilog yang dibawakan oleh Ellen—melalui suara Millicent, yang merupakan satu-satunya eksisten penanda kehadiran Ellen sebagai aktris yang memainkan peran Ellen—menjadi suatu penyimpul akan kesiasiaan kehidupan, dan akan kenyataan yang tak bisa dihindarkan bahwa everybody is somebody.

Menonton Synecdoche New York memang perlu ketahanan khusus, karena Kauffman—melalui sikap pahit Caden—benar-benar membongkar arti hidup hingga ke batas kemampuan orang untuk jujur menyatakan bahwa hidup itu tidak baik-baik saja. Epilog Ellen akan membuat siapapun terpusing dalam pusaran negativitas terhadap hidup. Tapi mungkin bukan soal hidup yang bersikap negatif, mungkin manusialah yang seringkali berpengharapan terlalu tinggi terhadap apa yang ditawarkan kehidupan. 

Di luar tema yang demikian memualkan, Synecdoche juga menawarkan plot yang jauh dari konvensional. Kemampuan sang penulis dalam membuyarkan konsentrasi penonton dalam membaca linieritas alur, memang patut diacungi jempol. Gagasan tentang membangun sebuah teater raksasa yang mengkopi kenyataan, saya kira bisa jadi adalah mimpi utopian sutradara manapun. Namun dalam eksekusinya, membangun simulasi yang dikontrol penuh oleh tangan seorang sutradara adalah hal yang mustahil; setidaknya ia akan tersesat dalam menentukan mana yang original dan mana yang tiruan. Dalam perspektif yang lebih luas, Synecdoche: New York menunjukkan meta-gagasan yang serupa; bahwa hidup adalah Theatrum Mundi bagi sang sutradaranya sendiri.

Akhir kata, dalam kerumitan dan keabsurdannya, Synecdoche New york tak bisa dinyatakan hanya sebagai filem one of the kind semata; Synecdoche New York, adalah the only kind of such a movie.  

Bandung, 5 November 2013

Tidak ada komentar: