Rabu, November 06, 2013

Disthing: Objects of Discontentment

Salah satu essay yang saya kira setelah penulisannya memberikan sensasi: "A good job well done, you!" Meskipun setelahnya penulis utama menginformasikan bahwa ada beberapa pihak yang cukup menyerang karena sekadar satu pilihan kata yang terlalu simbolik, but nevertheless I think the essay is okay, probably the best I've written yet... Written around  late June 2013... The exhibition was held on early July...

Disthing: Objects of Discontentment

Salah satu penanda yang dengan mudah dapat membedakan karya seni rupa modern dengan karya seni rupa kontemporer, adalah validasi masing-masing diskursus dalam menentukan nilai estetis suatu karya. Jika di masa modern validasi suatu karya dilindungi dengan sangat ketat melalui batasan kanvas atau jenis material yang digunakan dalam karya patung; atau bahkan ditentukan secara hegemonstik oleh segelintir kritikus; maka validasi karya seni seni rupa kontemporer bisa dikatakan merupakan praktik “heretic” bagi mereka yang percaya pada supremasi seni modern. Dinyatakan demikian karena validasi seni rupa kontemporer bisa direduksi hingga semata penempatan objek apapun ke tengah ruang galeri atau musium.
Jika hendak menjejaki moyang seni rupa kontemporer, yang mewariskan karakter sedemikian demokratis, kita akan sampai pada satu event di mana sebuah urinary (pispot) ditempatkan di tengah galeri oleh seorang Marchel Duchamp. Strategi Duchamp ini sedikit banyak menggoyahkan keyakinan banyak orang, sehingga tergelitik untuk melontarkan pertanyaan basis mengenai seni rupa: Bagaimana suatu objek dinyatakan sebagai suatu karya seni?

Puluhan tahun setelah kasus Richard Mutt—coretan nama yang secara acak diterakan Duchamp di permukaan urinary—mengegerkan dunia seni rupa modern, baru di kisaran tahun 60-an lah langkah berani Duchamp, memberi efek berarti—terutama dalam menyisihkan hegemoni seni rupa modern. Seni saat itu kemudian turun dari “pedestal” untuk merangkul berbagai variabel hidup keseharian.Ketika otonominya ditanggalkan, seni rupa pun tampil dengan kode-kode visual yang baru, yang tentunya mereferensi kehidupan di luar seni sendiri. Kompleksi seni yang sedemikian rupa berimplikasi pada bentuk seni yang selalu contingent pada referensinya; karena ituvocabulary seni rupa kontemporer pun selalu merujuk pada berbagai wacana dominan, yang mempengaruhi kultur manusia kontemporer secara lebih luas.
Saat kultur kontemporer dikendalikan secara dominan oleh kapital, maka seni pun tampil sebagai representasi kondisi yang ada, pun sebagai salah satu elemen kebudayaan yang juga dikendalikan kapital.Logika komodifikasi pun turut mengendalikan wilayah seni rupa, memulasi wajah objek-objek yang terkategori sebagai “karya seni rupa kontemporer”, dengan berbagai elemen kritik, perayaan, dan rujukan atas realitas yang terjebak mekanisme komodifikasi.Sebagai konsekuensinya, karya-karya seni rupa kontemporer memboyong produk-produk komoditas ke dalam wilayah wacana seni rupa.Image dan simbol dari film, iklan, dan kemasan produk retail naik ke atas kanvas dan masuk ke ruang galeri.Ketika memasuki wilayah galeri atau musium, maka objek, simbol, dan citraan dari wilayah keseharian ini pun terotomasi mengalami transaksi nilai, sehinggaexchange value-nya mengalami amplifikasi nilai.

Jeff Koons, Ashley Bickerton, dan Haim Steinbach mungkin tiga dari banyak seniman kontemporer yang cukup prominent memboyong aspek dunia komoditas, politik ekonomi kapital, dan berbagai representasi produksi-massal ke ruang galeri.Karena kecenderungan yang mereka kembangkan inilah, istilah Commodity Sculpture mendapatkan tempat dalam kosakata seni rupa kontemporer. Strategi Jeff Koons dalam menempatkan dua buah Vacuum Cleaner secara bertumpuk dalam sebuah casing plexiglass (New Shelton Wet/Dry Double Decker, 1981); atau yang dilakukan Haim Steinbach pada karyanya Related and Different (1985),  yangmenghadirkan sepasang sepatu Air Jordan bersebelahan dengan lima buah cangkir plastik berwarna emas di atas rak formica; sedikit banyak mengingatkan kita pada tradisi ready mades yang dipelopori Marchel Duchamp di awal abad-20. Namun meskipun secara genealogi Commodity Sculpturememang berakar pada rute Duchampian, namun sasaran dan karakteristik kedua kecenderungan ini sebenarnya berbeda.Jika pada tahun 1914 Marchel Duchamp menempatkan bottle rack dengan maksud mempertanyakan ulang aesthetic value sebuah karya seni, maka Jeff Koons dan rekan-rekannya menempatkan berbagai benda kesehariandi ruang galeri sebagai upaya untuk menafikan fungsi keseharian si benda, dan mengubah mekanisme exchange value (atau exhibition value jika merujuk pada terma Walter Benjamin), menjadi sign exchange value.
“…most Duchamp’s readymades proposed that object of use value be substituted for object of aesthetic and/or exchange/exhibition value: a bottle rack in place of a sculpture or, reciprocally a Rembrandt used as an ironing board. Most Koons and Steinbach’s Readymades do the opposite: They present objects of exchange/ exhibition in the place of art in a way that cancels use… In general they intimate that all these values—aesthetic, use, and exchange-exhibition—are now subsumed by ‘sign exchange value’.”[i]

Mencermati beberapa objek yang dihadirkan seniman di pameran Disthing: Objects of Discontentment, tersematkannyasign exchange value pada karya mereka dapat terdeteksi dengan mudah. Hadir semacam upayamark upvalue, atau kalau tidak semacam usaha penggaransi nilai karya, terutama mengingat karya para seniman di sini, kebanyakan tidak menyajikan found object  apa adanya, melainkan membangun objek yang sengaja dibuat menyerupai kecenderungan readymades-nya Duchamp. Hal ini bisa dilihat pada karya Bagus Pandega, Budi Adi Nugroho, Cecilia Patricia Oentoro, Faisal Habibi, dan Leonardiansyah Allenda.Kesemua seniman ini membangun karya dari nol (from scratch), namun alih-alih membentuk objek yang original, mereka justru mengkopi atau mensimulasi objek yang sudah duluan ada dan akrab dalam realitas keseharian manusia kontemporer; seperti misalnya: gramofon, balok sampah, stool, chandelier, alat kontrasepsi,.dsb

Jika dicermati, penggunaan simbol dan penanda sebagai empasis pada wacana komoditas, konsumerisme, dan advance capitalism, sering sekali tampil pada karya-karya seni rupa kontemporer.Istilah hypercritical, menjadi tuduhan yang sering dilayangkan pada gejala seperti ini. Dalam pemahaman yang lebih ekstrim, ada sebuah tesis yang menyebutkan bahwa, hampir serupa dengan kondisi seni modern yang mensasar aura mistis formalisme sebagai kesejatian, seni di masa hypercritical pun mendeteksi aura mistisnya melalui tampilan-tampilan yang stereotipikal dan permukaan. Melalui pernyataan yang cukup tajam, Walter Benjamin pernah memprediksi hadirnya kenyataan seperti ini,“The cultural need to compensate the lost aura of art with ‘the phony spell’ of the commodity and the star.”[ii]

Sesungguhnya tesis bahwa advance capitalism mempengaruhi sistem hidup manusia secara menyeluruh, merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri.Logika komodifikasi secara mendasar telah merubah mekanisme system of object yang hadir dalam realitas kontemporer. Dalam artikel berjudul: The Ecstacy of Communications, Jean Baudrillard mengungkapkan, bahwa system of Object yang linier sudah tak berlaku lagi dalam dunia yang sudah terlanjur dilekati mekanisme produksi dan konsumsi. Kenyataannya hadir rasio baru yang menentukan nilai objek-objek dalam kebudayaan.Kegiatan konsumsi berhasil menghasilkan tanda-tanda baru, menciptakandiferensiasi, membentuk status dan prestige bagi berbagai objek yang hadir di kehidupan manusia masa kini.
There is no longer any system of objects… Behind these logics, in some way descriptive and analytic, there was already the dream of symbolic exchange, a dream of a status of the object and consumption beyond exchange and use, beyond value and equivalence. In other words, a sacrificial logic of consumption, gift, expenditure (dépense), potlatch, and the accursed portion.”[iii]

Melalui tesis Baudrillard di atas, maka disadari jika objek-objek yang kita temuidi kenyataan mengandung ribuan kemungkinan makna dan nilai.“Objek” menjadi sebuah kondisi yang dibentuk oleh posisi kita sebagai konsumen atau setidaknya sebagai subjek yang turut terlibat dalam mekanisme komodifikasi.Bahkan exchange value karya seni diperumit oleh hadirnya aesthetic value yang memberikan nilai surplus pada dirinya saat berkomunikasi dengan pola expenditure para konsumen karya seni (dalam hal ini art collectors).Hadirnya amplifikasi nilai aesthetic value pada karya seni, secara otomatis berkonsekuensi pada  amplifikasi nilai pada subjek konsumennya dalam bentuk prestige.[iv]

Objek-objek yang dipamerkan di pameran ini merupakan satu dari sekian ribu partisipan dalam dikursus seni rupa kontemporer—yang juga digarisbawahi keterlibatannya dengan mekanisme komodifikasi.Karenanya karya yang hadir juga telah memasuki mekanisme rumit dalam transaksi nilai antara aesthetic, use, exchange/exhibition, dan sign value.Muncul satu hal yang menarik untuk dicermati pada konfigurasi karya pameran Disthing: Objects of Discontentment ini; yakni kuatnya upaya para seniman partisipan untuk memproduksi karya yang terjaga kualitas estetisnya.Hal ini bisa dilihat secara sederhana melalui jerih payah mereka mengkopi/mensimulasi berbagai benda keseharian, dengan cara membangun ulang, alih-alih menyasar metode readymades ala Duchamp.Asumsi yang kemudian terbangun adalah, mereka cenderung melanjutkan tradisi para pengusung kecenderungan Commodity Sculpture, seperti Jeff Koons, Haim Steinbach, Ashley Bickerton, dan lainnya.Bisa jadi dikarenakan kecenderungan ini secara histories belum berpaut jauh dengan kondisi seni rupa masa kini, sehingga kaitan urgensi di antara wacana commodity sculpture ala Jeff Koons dkk., dengan wacana seni rupa yang berkembang saat ini masih berkait cukup erat.

Disthing: Objects of Discontentment
Pameran Disthing: Objects of Discontentment ini menghadirkan “objek-objek” karya delapan seniman yang menampakkan kualitas “discontent”. Dalam hal ini dasar kata discontent dipilih sebagaisubjudul, untuk menekankan aspek “ketidakpuasan” akan stagnansi nilai, atau menekankanketakajegan serta adaptibilitas karya seni,saat menyajikan ulang realitas ke dalam bentuk objek-objek baru yang diciptakan melalui berbagai rute dalam seni rupa kontemporer. “Disthing” sendiri sebagai tajuk utama, dipilih dengan menimbang aspek permainan kata-kata yang melekatkan prefiks “dis”untuk meniadakan makna “thing” pada frasa yang bersangkutan.Objek yang terlibat dalam pameran inimemang memiliki kaitan yang akrab/ familiar dengan benda keseharian, namun keterlibatan objek-objek ini dalam lingkungan galeri, tentunya berimplikasi pada naiknya valueyang mereka kandung.Karenanya terotomasi logika bahwa mereka bukanlah sekadar objek, atau sekadar benda, melainkan sebuah karya seni (objet d’art).Dengan pemahaman seperti inilah frasa “Dis-Thing” menempati fungsi operatifnya.

Karya Bagus Pandega yang berjudul “Remembering and Forgetting” sedikit banyak masih menunjukkan ciri khas karya-karyanya selama ini. Penggunaan elemen kinetis serta penggabungan antar berbagai elemen found object, memang seolah menjadi marka identitas bagi karya-karya Bagus. Seperti juga kecenderungannya selama ini, Bagus gemar memainkan kemungkinan “mutasi” bentuk dari objek-objek yang dikenal secara akrab di keseharian. Pada “Remembering and Forgetting”, corong gramofon yang biasanya tunggal dan berukuran besar, ia ubah menjadi sekumpulan corong  gramofonberpostur kecil, langsing, dan tinggi. Yang kemudian menarik untuk disimak pada karya ini adalah bagaimana Bagus membalik logika umum sebuah gramofon: alih-alih membuat piringan hitam berputar, Bagus malah memberikan efek kinetis berputar pada corong-corong gramofon miliknya. Bagus tampak merayakan penuh tagline pameran ini, dengan cara “mendistingsi” objek gramofon miliknya menjadi sebuah gramofon yang absurd dan janggal saat ditabrakkan dengan rasio para pemirsanya, yang sudah barang tentu akan membandingkan karyanya ini dengan objek gramofon yang umum mereka kenal di keseharian.

Budi Adi Nugroho, yang selama ini dikenal gemar berkarya melalui trajektori Commodity Sculpture dan metode apropriasi,  kali ini juga menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah simbol-simbol populer ke dalam karya  berjudul  “Pressed Junk”.  Pada “Pressed Junk” Budi menyajikan tokoh fiksi Jepang yang cukup populer: Ultraman, ke dalam bentuk balok yang umum dikenal juga sebagai salah satu mekanisme pembuangan sampah di negara maju. Ada semacam upaya “transaksi” value pada karya Budi ini, yang mengasosiasikan elemen kitsch (pada objek ultraman), penanda berupa “sampah”, dengan penggunaan warna emas yang merupakan simbol untuk benda dengan exchange value yang tinggi.

Karya Cecilia Patricia Oentoro yang berjudul “Cautios” bisa dikatakanmerupakan sebuah karya yang memanfaatkan permainan persepsi saat bersinggungan dengan objek-objek yang familiar di keseharian. 
Patrice (sapaan akrab Cecilia), membuat sekumpulan objek terbuat dari gelas, yang kurang lebih menyerupai berbagai macam bentuk kondom; yang kemudian ia susun sedemikian rupa hingga membentuk sebuah objek baru berupa Chandelier. Pembubuhan judul “Cautious” tentunya seiring dengan intensi Patrice menghadirkan objek serupa kondom, yang berasosiasi juga dengan material gelas yang rapuh dan rentan melukai.“Cautious” saat terkonfigurasi ke dalam bentuk chandelier juga membentuk sebuah impresi baru, yakni intimidasi akan suatu hal yang tidak diharapkan, saat kumpulan gelas berbentuk phallus tampak hendak menghunjam  ke arah pemirsa di bawahnya.

Karya Dewi Indah yang berjudul “After Fontana” kentara merujuk pada karya seniman spatialism, Lucio Fontana.Penggunaan elemen menyerupai semacam membran yang menutupi bidang lukisan, yang kemudian dirobek sedemikian rupa, memang merupakan identitas karya-karya Lucio Fontana.Sebuah lukisan akrilik di atas kanvas, yang menggambarkan puluhan perempuan berambut panjang tengah bercengkerama, menjadi objek yang disembunyikan Dewi di balik membran tersobek tadi.Lukisan ini, secara familiar akan mengingatkan kita pada corak seni lukis tradisional Jepang. Di sini, kita akan menemui sebuah relasi yang janggal, saat Dewi menempatkan lukisan dengan motif sedemikian rupa dengan sebuah upaya copycatterhadap metode salah satu pelopor gerakan minor dalam seni rupa modern (Fontana). Namun seperti juga karya Untitled, yang turut Dewi sertakan juga dalam pameran ini; objek-objek yang iahadirkan memang merupakan permainan jalin kelindan antar berbagai penanda yang bebas ia padu-padankan menjadi hubungan yang saling memberi dan menabrakkan nilai. Pada karya Untitled, misalnya, Dewi menabrakkan aspek personal dengan kode-kode visual yang turut ia hadirkan di karya After Fontana. Pada karya ini, penempatan objek akrilik serupa tumpahan air, di tengah boks yang pada keempat dindingnya menampakkan lukisan tradisional Jepang ala Dewi seperti karya After Fontana miliknyatadi;merupakan strategi Dewi dalam mengkombinasikan berbagai elemen visual yang ia anggap menarik dan ingin ia tampilkan secara bersama-sama.

Faisal Habibi masih dengan kecenderungan karyanya selama ini, menampilkan sebuah karya objek dengan karakter desain yang cukup kentara. Yang menarik dari karya-karya Faisal selama ini,seperti juga tampildalam karyanya kali ini, adalah kemampuannya mendistorsi benda-benda furnitur menjadi sebuah karya dengan tampilan visual yang janggal namuntetap memiliki daya tarik tinggi untuk disimak.Pada pameran Disthing, karya Untitled milik Faisal berupa sebuah stool dengan bentuk kaki yang terdistorsi, merupakan contoh kuat karya dari trajektori Commodity Sculpture.Mutasi bentuk yang Faisal hadirkan pada karyanya ini  menyebabkanaspek fungsional stool sebagai perangkat duduk hilang sama sekali. Upaya cancelation nilai guna karyanya ini, merupakan sebuah konsekuensi yang hadir saat Faisal melakukan transaksi nilai karya, yang mengkomunikasikan use value sebuah objek desain dengan exchange value karyanya sebagai karya seni (objet d’art).

Karya Leonardiansyah Allenda pada pameran ini bisa dikatakan merupakan karya yang paling konseptual dibandingkan karya yang lain. Leo menghadirkan sekumpulan objek berupa apron, sapu, lap, kemoceng, dan pengki menjadi sebuah konfigurasi karya. Meskipun tampak seperti kumpulan found object, karya berjudul “Janitor” ini merupakan objek-objek yang dibangun secara seksama oleh sang seniman. Masih tampak tujuan estetis yang hendak disasar Leo, saat ia menggunakan warna monotone untuk setiap objek yang dihimpunnya, sekaligus saat ia memilih material berupa eboni (pada objek kemoceng/duster) dan stainless steel (pada objek pengki). Leo menyatakan bahwa objek-objek yang ia hadirkan hendak ia targetkan untuk mewakili sistem interaksi antara ruang dengan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya; dalam hal ini yang ia angkat adalah lingkungan ruang pamer. Tampilnya objek-objek janitor, yang berfungsi membersihkan, menurut Leo merupakan suatu perwakilan ide mengenai kegiatan bersih-bersih sebagai interaksi generik antara suatu ruang dengan subjeknya. Saat ia asosiasikan representasi bersih-bersih ini dengan keberadaan ruang pamer (galeri, museum, dsb), Leo menemukan bahwa objek yang dibersihkan di sini sebenarnya adalah exchange value yang dimunculkan karya seni, yang salah satunya adalah nilai monetary: uang. Karena itulah pada beberapa objek di karya Janitor ini, Leo memunculkan sekumpulan koin rupiah, sebagai perwakilan objek yang terjebak dalam interaksi antara ruang (ruang pamer: galeri, museum, dsb.) dengan subjek (pelaku seni: seniman, galerist, dsb.).

Objek sebagai kata kunci pameran ini nampaknya hadir sebagai abstraksi pada karya Windi Apriani yang berupa dua karya dua dimensi di atas kanvas.Penghadiran lukisan sendiri, sudah menjadi suatu penjamin bahwa objek yang dihadirkan Windi adalah sebuah karya seni (objet d’art).Namun yang hendak ditekankan Windi di sini adalah penghadiran mesin jahit sebagai objectof fascinationsang seniman. Windi sendiri menyatakan bahwa karyanya ini tidaklah dimaksudkan untuk menyampaikan narasi tertentu, namun lebih dititik-beratkan pada responnya saat disodori tawaran berpameran di ruang yang bertajuk “Disthing”.Di mata Windi sendiri “disthing” yang ia pahami adalah “bukan benda”, yang ia terjemahkan kembali sebagai sesuatu yang melepaskan diri dari identitas fungsi dan bentuk benda yang bersangkutan. Karena itu Windi menghadirkan kembali objek yang ingin ia tampilkan dalam bentuk citraan mesin jahit di atas kanvas. Hadirnya sang author  (Windi sendiri) sebagai salah satu citraan di atas kanvas bisa jadi merupakan strategi menempatkan narasi personal Windi, yang hendak menginformasikan bahwa objek mesin jahit yang hadir memiliki value tersendiri di mata sang seniman. Jika menyisir kembali sejarah objek mesin jahit ini, memang ditemui pengakuan personal si seniman yang memberi nilai cukup tinggi pada objek mesin jahit tersebut. Windi menyatakan bahwa salah satu mahar (mas kawin) yang dihadiahkan sang suami kepada dirinya saat menikah, adalah mesin jahit yang juga hadir di atas karyanya tersebut.

Yudi Arif Budiman pada karyanya yang berjudul Floating Stones, menghadirkan jalinan yang unik, antara persepsi visual manusia saat mencerap kontur, berat, dan dimensi benda; dengan analisa visual pada umumnya saat mengawasi sifat dan posisi benda tersebut di kenyataan. Pada karyanya ini Yudi memanipulasi knowledge para pemirsanya yang sudah terbiasa mempersepsi benda berupa batu dengan dimensi tertentu, sebagai objek yang berat dan pejal.Namun dengan arrangement tersendiri, Yudi menghadirkan objek “batu” miliknya pada posisi terapung. Dengan teknik khusus, Yudi memang mensimulasikan beberapa objek yang ia susun sedemikian rupa, sehingga menyerupai batu, supaya berada dalam kondisi terapung di ruang pamer. Terjadi pertemuan absurd dalam ruang persepsi para pemirsanya saat menyimak Floating Stones karya Yudi, yang seolah menolak kaidah alam ihwal sebuah batu yang biasa ditemui di kenyataan.Menyimak karya Yudi mengingatkan kita pada rute yang digunakan seniman patung Cornelia Parker dalam berkarya.Penguasaan ruang sekaligus juga masifnya efek yang ditampilkan Yudi, membuat karyanya menjadi high profile dan menarik untuk disimak.

Mencermati keseluruhan karya pada pameran ini, kita menemukan adanya jerih payah para seniman partisipan dalam melakukan “transaksi” nilai sehingga value karya mereka menempati posisi seperti yang mereka harapkan. Namun karakter personal dan idiosinkrasi masing-masing seniman yang tetap hadir dalam upaya tersebut, menimbulkan kombinasi yang dapat menghasilkan ragam bentuk visual yang tentunya menarik untuk diperhatikan.Disthing: Objects of Discontentment merupakan titik temu antara berbagai variabel komunikasi dalam diskursus seni rupa saat berjalinan dengan aspek komodifikasi dalam kehidupan kontemporer, yang kemudian dijewantahkan seniman dalam bentuk respon balik yang khas dan idiosinkratik.
Asmudjo J Irianto
Dinni Tresnadewi Nf




[i] Hal Foster, The Return of the Real, Massachusetts: MIT Press, 1999, hal. 112
[ii] Ibid, hal 114
[iii] Jean Baudrillard, The Ecstasy of Communication, dalam The Anti-Aesthetic Essays on Postmodern Culture, Editor: Hal Foster, Port Townsend: Bay Press, 1983, hal. 126
[iv] Foster, op. Cit., hal 109

Tidak ada komentar: