Gaga Waga Lama Saya

Beware! General angst and hyper-subjectivity ensues! :D

6/17/12 11:52 PM

The Thrive for New Logic

It's funny how you find yourself through other people's point of view. And when I look back to my past, to the troubles left behind, it seems that I always carried them all the way through. It will always be parts of me, no matter how long the trouble had passed... And you know what I want after so many things I've through? I thrive for new logic. I want the whole new paradigm of seeing the world every single time i made some kind of "check-point" in the long road of life.
I am not a Rachel Corry (universe bless the great memory of her) whose passion and conscience of humanity were beyond the level of a general "human"; and I am not Da Vinci who had a high level of understanding toward the concept of "curiosity" and "beauty"; and for sure i am not a misunderstood artist like Van Gogh or Kahlo, whose emotion and sense were so f***gin sensitive... I am no catalyst for civilization. I'm a mere reader, but I long for a different way of reading every times I read--even the same--books.
Yes, I thrive for wisdom, and for now, the wisdom I shall hold on to, is the journey to find new logics, and in the end, maybe I shall find my very own "grand unified theory"...



5/6/12 11:15 AM

" Humming to himself as he,
Is thinking of his latest debts,
Juggling some numbered thoughts,
Wondering what might come next,
And swears he won't,
Ever stop,
Unless he wants what
She surely does not,"

"Oh, Jim, John, Jackie, and Susie Q,
They mind their manners but so do you,
Oh we breathe all of these words that make no sense..."

It's everyone's tale, ain't it? We breath all of those words that make no sense at all, yet every single one of us feel special. Well, you ain't worth a dime dear sir and madame.. and so do I.. But that's okay. There will always be games to figured out, dears... And that's just worth living for..




4/18/12 11:23 AM

Depression


When you have nothing, you haven't even hope to spare
You're exactly where you want to be
You wouldn't have it any other way
Any other way would be complication
Depression ain't so bad
Makes you wish youd never been born, but you always jump right back
Now I've been on top of the world, and I've been stuck at the bottom
I have kicked and I've crawled, tried to get my way back up
But there's nothing wrong with a break before you get back up
Depression ain't so bad
Look at all the good its done Robert Johnson

yeah...




4/6/12 6:38 PM

my index finger points to you, destiny!


Destiny is the composition we can never truly decipher. It's such the gravity-to-the grand unified theory of one's life. It somehow manage to fool us out as a mere coincidence, but was it really is? I'd like to blame all to the destiny, if I might do so.

I have so much to proof. Then I asked my self does everything needs to be proven? I have much in my head, swirling around for the past 9 years, but then do I really need to speak it out? Let everyone know what has been there all these years? I have talent, many might said so, but do I need to work it up, if I know for sure that I am far too pessimistic to see world as a fine place?

Yeah I'm a whiner... Whatever!
I'd like to dance in the woods with clacking skeletons following me, and howl sooo looong, and bathe in the wiiide dark body of water (a lake perhaps).. let all my worries evaporate awaaayyy... I might someday snap... you see, this is words that keeps me sane: "you came from nothing, you'll end up in nothing, what are you losing? Nothing!!"




2/17/12 8:20 PM

Emily you are half of the sun of my life...




"Hope" is the thing with feathers—
That perches in the soul—
And sings the tune without the words—
And never stops—at all—

And sweetest—in the Gale—is heard—
And sore must be the storm—
That could abash the little Bird
That kept so many warm—

I've heard it in the chillest land—
And on the strangest Sea—
Yet, never, in Extremity,
It asked a crumb—of Me.





What is a heart made of?

it must be from a seed of dandelion
for it so light and soars vastly easy
Over the sky, crossing the wide blue ocean..
When you’re in love, in hope...

Or it must be from a very old wood,
Since it hardened sometimes,
Covering itself from harm and damage..
When you’re in pain, in hurt...

Or it must be from a very fragile glass
Because it breaks and shatters easily
Ruined into tiny pieces,
When you’re desolated, rejected...

And mine tonight
Is made of glass...
081011


Ode to my Emily

“Sebuah harapan besar jatuh”

Untuk setiap rangkai kata yang kau ulas dalam kanvas bahasa
Aku tepekur, memandangku sendiri dalam kepedihanmu,
Emily...
Kau indah dalam jenaka dan gempita kehidupan,
Dan kau lembayung senja dalam pahit dan pedih yang sering kita bagi bersama...
Aku mengenalmu hanya dalam pura-pura
Dan kuyakin kau pasti mengenalku dalam niscaya pandang...
Meski terpisah puluhan kitaran mentari
Terjauh juta jengkal jarak dan bahasa
Tapi kita berbagi dunia serupa, Emily
Kadang mirip gula-gula dengan langit warna vanilla
Namun sering mewujud raksasa
Rakus kala membaui jiwa-jiwa rapuh
Seperti kau dan aku
Menggulung bagai badai hitam menelan biru angkasa...
Dalam haru itu kau menemuiku
Membelai punggung rapuhku saaat kupunguti keping diri yang dihancur sang raksasa...
Kata-katamu candu untukku
Untuk membingkai dunia dengan makna
Pedih namun tak nyana indah
Untuk berani nyatakan,
bahwa arti hidup tak selalu kapas gula dengan gemilang harap masa kanak-kanak..

Aku mencintaimu, Emily Dickinson....


 


Kita senantiasa merindukan yang hakiki. Yang asali, yang pada awal mula memberi nama dan memberi ukuran, menentukan gerak waktu dan meramalkan masa depan. Yang primordial dan archaic, yang hilang digerus keangkuhan nenek moyang dan para penggagas yang terlampau tergesa-gesa membentuk kesimpulan. Yang pertama ada, yang menandai masing-masing diri kita bahwa kita berharga dan memberi kepastian bahwa eksitensi kita dibubuhi makna rumit dan puitik penuh keagungan. Yang final dan ada di titik ultimasi, kesempurnaan ilmu yang tanpa cacat, tanpa hijab; jernih melepaskan kekerdilan kita saat menghadapi realitas di luar kita yang maha raya.

Kita semua merindukannya bukan? Tapi akankah kita berani menganggukkan kepala saat kenyataan di depan mata menafikan segala rasa rindu kita. Saat spiritualitas hanya diganjar kesimpulan sederhana tentang materi dan ruang luas nyaris tanpa batas. Saat makna diri tertuang dalam kesatuan di luar diri kita, saat kita diberi label sama dengan seekor lembu, sebatang kayu, atau seonggok batu. Saat udara membisiki kita bahwa kita terlahir dari rahim yang sama, yang terang menyala-nyala di pusat jagat raya. Kau boleh kecewa, tapi kenyataan sederhana ini tak harus membuatmu melepas rindu pada yang asali.

Yang awal mula tetap meninggalkan jejak, dan memaksa kita membalik hijab-hijab yang tutupi kita akan kenyataan segala yang ada. Ia bisa jadi mengambil tempat di pemukaan kenyataan, atau tersembunyi di balik tiap kekinian yang sembunyikan masa yang telah lampau. Tapi kita manusia, dengan kepala setajam belati dan kemampuan menghela segala rasa ingin tahu. Kita mampu memecah cangkang bumi, menggali petunjuk, berkelana ke alam prehistori, meneropong cahaya yang bertaut milyaran tahun cahaya, meninjau subatom renik yang membangun kenyataan, menjabarkan gerak kehidupan bahkan menjawab sebagian pertanyaan akan esensi diri. Tak harus dijawab dengan keharusan akan makna diri yang penuh keagungan. Tak perlu alasan bertele-tele mengenai adanya kita yang ternyata sepele. Mungkin kunci kita berdamai dengan sang asali adalah melepas atribut angkuh kita sebagai mahluk unggul... Menemukan keanggunan dalam kekosongan dan kesia-siaan.. Karena makna diri kita terpupus dalam kematian.. Sang asali adalah kematian.. hidrogen yang terus berputar dan berputar, yang di satu titik tertentu membentang layar persepsi akan makna diri di jaringan kelabu otak manusia...

 

Star stuff contemplating the Star

“Matter flows from place to place and momentarely came together to be you, some people find this tought disturbing. I find the reality thrilling.” (Richard Dawkins)

There’s so many people out there feeling deeply humbled upon their realization about the vastness of the universe. And now, i’m deeply humbled to claim that i am one of them too. I feel humbled now that I know, my good deeds won’t payed off, and realize that the concept of sin is just a myth carried by the society to maintain order. I feel deeply humbled now that I know i’ll be decomposing later when I died, joining the great cycle of the greater being, feeling excited to taste the new kind of consciousness. I feel deeply humbled, now that I know my existence has no value more than the pebbles beneath my feet, that I’m not a special kind of something with a holy task in hand to be the master of this realm. I feel deeply humbled now that I know I’m just a star stuff contemplating the star..
Upon sitting in front of a wooden joglo house, staring at the dusk cloudy sky, backgrounded by malabar siluet, foregrounded by this large hillside, framed by bamboo bushes, enhanced by being completely alone, and intensify by one of thomas newman’s work..



vinanna sotta
by Dinni Tresnadewi Patience on Wednesday, October 21, 2009 at 2:47pm

Clarissa dalloway hendak mengadakan pesta, clarissa dalloway membeli bunga, clarissa dalloway mengenang masa lalu, Clarissa Dalloway gelisah dalam kungkungan takdir sebagai manusia.. di sisi lain ada septimus muda yang meratap ditemani istrinya yang masih belia, atau Peter Walsh yang menimbang masa depan, atau Sally Seton yang berkompromi secara ekstrim, Mrs Kilman yang menyumpah, Elizabeth berlari mencari kedamaian..

Kesadaran mengalir, melalui satu jiwa dan jiwa lainnya. Berpacu untuk selalu memaksa kehidupan berjalan aktif, penuh lonjakan dan dinamika, setidaknya demikianlah wajah dunia rancangan Virginia Woolf dalam novel Mrs Dalloway. Tapi kita tidak hendak bicara mengenai buku ini. Kita bicara tentang insting kehidupan, yang nyata di depan mata, bersikap sama persis dengan dunia rancangan Nyonya Woolf.. Di kolong jembatan, di lantai tertinggi apartemen mewah, di ruangan kelas, di tumpukan sampah kota, di antara hiruk pikuk demonstrasi, di tengah keliaran gurun Kalahari- kesadaran meranggas subur, menjadikan manusia sebagai individu unggul & istimewa..

Manusia berdiri dengan kesadaran penuh akan kehadiran dirinya. Istimewa dan angkuh menerima takdir sebagai khalifah di muka bumi. Menyadari diri punya peran spesial.. yang satu sama lain mengalami rantai peristiwa yang unik dan tak pernah ada yang identik.. belajar dan membangun pemahaman mengenai diri dan kenyataan yang bergulir di depan mata.. kesadaran yg kemudian mengundang rasa rindu akan jawaban.. jawaban yang berbuah pertanyaan demi pertanyaan akan makna diri dan realitas.. semua potensi diperah, milyaran sel otak dikerahkan, dan pada akhirnya seorang kierkegaard menyatakan: “I must find a truth that is true for me..” Seorang Jacques Prevert berkata: “I am the way I am, That is the way I’m made..”

Tapi bukankah kita hidup hanya dalam fragmen kecil. Serpih-serpih yang membentuk drama yang lebih besar. Sama halnya dengan fragmentasi kehidupan yang dikisahkan oleh virginia woolf, setiap dari kita memiliki kesadaran, mengakui keunikan eksistensi diri sepenuhnya. Tapi kita juga sekaligus serupa: kita semua berkesadaran, kita semua sakit, sedih, bahagia, gelisah.. Dan kita semua berpegang teguh pada takaran pribadi akan sebuah kebenaran.. Jadi apa sejatinya kita? haruskah menafikan objektivitas dan logika demi moral individu dan subjektivitas? atau justru sebaliknya?

Buddha memiliki satu aksioma populer, yang menyatakan: “Not the same, and yet not different..” Seperti layaknya aliran listrik, kehidupan pun mengalir dalam dimensi ruang dan waktu.. materi berubah dan berkembang.. tapi sejatinya ia tetap sama.. ia adalah materi yang hadir sebelumnya, sekarang, dan nanti.. Lilin yang baru adalah lilin, saat ia dibakar dan habis, ia berubah menjadi gumpalan lemak, tapi sejatinya ia tetaplah sebuah lilin.. Kisah hidup sang lilin dirangkum dalam satu identifikasi tunggal: sebatang lilin. Bukan segumpal lemak, secarik nyala api, ataupun yang lain..

Keangkuhan Clarissa, kegelisahan septimus, semangat peter walsh, dan kenaifan elizabeth pun terangkum dalam satu entitas tunggal; sebuah buku berjudul Mrs Dalloway. Entitas yang dihadirkan dalam aliran kesadaran para tokohnya, yang tidak akan menjadi sebuah buku berjudul Mrs Dalloway jika tanpa kehadiran satu saja ‘kesadaran’ yang ada di dalamnya.

Stream of consciousness pun hadir di kehidupan nyata. Suatu vinanna sotta, di mana “self” adalah ketiadaan, karena ia terpupus dalam ilusi bernama kematian.. Vinanna sotta bergulir melalui materi-materi pembentuknya, melalui rel waktu, dan mengambil tempat bagi proses dirinya.. ia memiliki makna, sebuah entitas tunggal yang tersepih ke dalam bagian-bagian kecil yang secara ilusi tampak berdiri sendiri.. Dan manusia pun terkadang tersesat dalam perbedaannya.. memegang teguh eksistensi diri sebagai hak istimewa.. tapi bukankah kita berjalan di aliran yang sama pula; vinanna sotta bernama simpati.. kesadaran bahwa satu sama lain adalah saudara yang merasakan apa yang kita rasakan, berbagi pandangan yang sama dengan apa yang kita pandang, berbicara dalam soliloquy-soliloquy yang serupa.. Dan terangkum dalam entitas tunggal sebagai umat manusia..

Saat kita lebarkan cakrawala pandang, kita akan menemukan jejak vinanna sotta yang lain, menemukan entitas yang lebih luas dan akan kian meluas seiring kita menemukan pemahaman baru.. dari pusaran pusat bunga matahari hingga putaran galaksi, dari putaran quarks di tengah atom hingga putaran galaksi mengelilingi quasar, dari satu kesadaran individu ke satu kesadaran maha raksasa seluruh keberadaan.. kita sesungguhnya berjalan dalam dinamika tunggal..



January 31, 2010 at 8:13am

Elephant, judul yang inappropriate untuk sebuah film remaja dengan sentuhan realistis yet disturbed ini. Elephant menyuguhkan dunia highschool senyata mungkin, dari sudut pandang sekian tokoh yang melakoni peran bermacam-macam. Gosip, popularitas, tanggungjawab, ketakpercayaan diri, bullying, semua terangkum dalam kisah satu hari dan diakhiri dengan kesimpulan menyedihkan tentang judgmental evaluation seorang muda yang tersakiti..

bagi saya elephant menampilkan flow cerita yang dengan perlahan mengelupasi dinding pertahanan saya untuk senantiasa mengingkari kenyataan bahwa manusia (terutama orang muda) sebenarnya saling menyakiti satu sama lain. Meskipun digambarkan dengan sangat realistis, tanpa melankoli cengeng, atau kontemplasi sok "berat" berlebihan dari tiap karakter, tapi elephant sanggup menghadirkan sebuah cerita indah dan menyedihkan melalui rangkaian momen dan interaksi sederhana para tokohnya. Mengutip quote dari jesse (before sunrise): "Why is it, that a dog, sleeping in the sun, is so beautiful, y'know, it is, it’s beautiful, but a guy, standing at a bank machine, trying to take some money out, looks like a complete moron?" Nah jalinan momen keseharian dalam elephant adalah foto indah sang anjing yang sedang berjemur, sederhana dan mundane, tapi mengandung makna lebih dari sekadar orang yang sedang mengantri dan menggerutu di depan mesin atm. Seingat saya -yang menonton film ini sekitar 2 tahun yang lalu- nyaris keseluruhan film hanya dihiasi satu score saja; fur elise-nya beethoven, itu pun dialunkan saat final film beranjak menuju credit title. Tapi itulah daya magisnya, tanpa bantuan musik, tanpa dialog super kontemplatif tentang makna hidup, tanpa dihiasi jajaran cast aktor berkelas, elephant mampu berpuisi dan mengenyakkan kesadaran kita tentang betapa rapuhnya kesadaran manusia.. betapa mudahnya kita menghakimi di saat kita terlampau kecewa dan sakit hati..

out of being bored..



Tulisan

Sudah menjadi kesepakatan bersama, jika sebuah tulisan bermaksud untuk memberi pengaruh. Sedikit banyak ikut mempersempit reservoar memori para pembacanya. Sebagian tulisan meninggalkan kesan mendalam, mempermainkan emosi, bahkan merubah sikap dan pendirian seseorang. Meski hanya berupa lembaran bahan yang semula memiliki kemampuan untuk hidup dan tumbuh, berisi deretan alvabet dan simbol-simbol, ia merupakan corong suara, yang konon sanggup menggerakkan ratusan ribu manusia digiring ke dalam tujuan dan kehendak sang penulisnya. Ia bisa membuat seorang keras kepala berubah pikiran, dan sanggup membuat seorang dingin penuh perhitungan berlinang air mata larut dalam emosi. Ia membentuk kehidupan, menunda informasi dan menjadi sarana berdusta. Ia mengawetkan dialog, dan memanipulasi sejarah.

Tulisan adalah senjata, lebih tajam daripada belati paling tajam di dunia, lebih mematikan daripada bom hidrogen paling canggih sekalipun.. Ia membunuh jiwa, merusak moral generasi muda, menggiring satu kaum untuk berperang melawan kaum lainnya.. Ia suara keagungan, jembatan antara Tuhan dan hambanya, dan ia adalah lukisan yang menggambarkan kenyataan lebih indah dari karya maestro manapun.. ia memberi kesadaran pada para penciptanya, menjadi sumber ketenangan, menjadi sebuah sanctuary saat kita perlu melepas gelisah dan amarah. Ia wakil kita hadir di dunia, mengungkapkan kenyataan yang tersembunyi di balik kesadaran kita, dan ia membentuk irama yang elok, layaknya sapuan kuas di atas kanvas, tulisan pun memberi warna, dengan dunia manusia sebagai kanvasnya..

Kita semua membaca, memaknai, dan mencipta tulisan sejak guru sekolah dasar mengantar kita ke dunia simbol dan komunikasi yang diawetkan ini.. dan kenyataan sederhana ini telah menjadi sebuah panduan hidup bagi seorang saya.. saya akan terus membaca, memaknai, dan mencipta tulisan.. bukan, bukan untuk tujuan mulia memperbaiki nasib manusia, bukan juga untuk tujuan melegenda merubah sejarah dunia, atau untuk tujuan luar biasa untuk mencapai kuasa.. hanya untuk mengisi jatah waktu saya hadir di kenyataan ini.. tak kurang tak lebih.. tapi rasanya cukup untuk menjadi satu-satunya alasan untuk bertahan hidup hingga nanti ruang dan waktu mengerut dan mengambil jatah saya berada di dunia..




Old Poem

Baiklah sang pemburu..
Bungkuk punggungku tersaji untukmu..
Bertahun kau giring aku dalam lembah harap palsu..
Menyimpan setiap lembar gambar dalam arti yang hanya kupahami..
Hanya bisa berandai dalam khayal dan gelembung mimpi…
Tapi kusadari pasti..
Aku ini egois dan cinta diri..
Lemah dan rapuh hadapi cerminku sendiri..
Bayang sahabat itu hanya tipuan akan bahagia..
Bisik dusta hormon dan segala profan menjijikan tentang cinta…
Baiklah sahabatku sayang..
Kumenepi di sini dan menuliskan kisah baru tentangmu..
Jujur dan tanpa melankoli cengeng seorang gila…
Kau adalah sahabat..
Mandiri dan kuhargai utuh sebagai topeng elok menakjubkan..
Waktu yang kita bagi bersama hanya gulungan kisah yang akan berlanjut..
Hingga dunia membentuk kita..
Dan kita membentuk dunia..
Lalu kita mengambil lempung makna untuk dibangun..
Lagi, lagi dan lagi…
170208



 

Kitab tanpa Arti

Kau dan aku terbangun di pagi hari.. merasakan rasa haus yang sama, bau mulut yang sama, dan dorongan untuk kembali menyelimuti diri dengan kemalasan yang terlalu berat membebani seluruh neuron tubuh kita tiap hari.. kencing dan sarapan atau meracik kopi.. mengecup pipi istri atau menyerangnya dengan teguran kenapa tak membangunkanmu lebih pagi.. semuanya dikopi lagi dan lagi dalam mesin delusi bernama rutinitas.. apapun bentuk hidup yang kau pilih, hari berjalan nyaris serupa, berupaya mereplika masa lalu, mencoba menawar kepastian pada alunan kuanta kehidupan yang mengalir penuh spontanitas.. kadang penuh kejutan menyenangkan, kadang merenggut rasa tentram yang kau jalin kuat-kuat saat kau berkhayal tentang konsep kemapanan yang abadi.

Kau dan aku membuka mata dari lelap tidur, mengalihkan frekuensi otak dari rasa nyaman alam subsadar ke alam sadar. Mengeluh diam-diam tak kuasa menghadapi tantangan nasib dan takdir masa depan.. kau mencoba berlindung di balik puluhan sampul buku motivasi dan trik manajemen ala art of war-nya tsun zu.. aku berusaha menundukan kekhawatiran dengan tips meditasi dan belasan pdf sufisme atau fisika new age dengan bumbu zen dan buddhisme.. tapi kita berjalan di ranah yang sama bukan? Sama-sama terlalu kecut menghadapi betapa kerdilnya diri kita. Sampah yang mengambang di kenyataan yang terpupus dalam delusi keseharian. Foto diri yang buruk rupa, yang kelak termakan humus dan kelembaban mikroorganisme.. larut dalam mineral, pasir, dan kerikil keras bumi.

Bagiku dan bagimu, waktu adalah sama: materi dan energi yang beranjak. Waktu adalah rangkaian momentum yang memberikan bukti bahwa suatu objek berada, tumbuh dan berkembang menjadi sesuatu yang lain. sebuah definisi yang menyesatkan kala kita dihadapkan dengan kebutuhan abnormal tentang keabadian. Tapi nyata itu derita, dan nyatanya, makna kita hanya berada di satu titik koordinat antara ruang dan waktu. Dalam ketakberdayaannya untuk melaju.. melompat dari satu koordinat ke koordinat berikutnya, membentuk grafik menakjubkan mengenai kisah hidupnya sendiri, yang bergerak naik dan turun layaknya sebuah plot dalam skenario film disusun. Dan kau dan aku adalah penulis skenario sekaligus aktor, hanya saja kita kehilangan kemampuan untuk menentukan alur, kehilangan hak pelakon untuk mengintip naskah cerita, tuntas dari awal hingga akhir waktu.. Prolog, Klimaks, anti klimaks, epilog, dan kesimpulan sederhana tentang kedipan mata..

Kau dan aku terkurung hasrat akan keabadian dan kebijaksanaan.. abadi dan bijaksana, bayaran yang menggiurkan untuk ketakberdayaan kita. Ditambah bumbu-bumbu menggiurkan tentang bidadari dan realitas super ideal. Di mana tawa dan sukaria membahana sepanjang waktu.. dyonisius menyajikan anggur paling nikmat ke dalam cawan milikmu dan ke dalam cawan milikku, membebaskan dahaga yang terbit dan hilang seketika.. bidadari dan dewa dewi melingkari tempat kita bertelekan di atas rumput empuk, hijau segar dengan sungai susu mengalir di atas tanah subur terbentang sepanjang cakrawala.. bukankah janji akan surga menggiurkan..? betapapun kita mengingkari ia hanya tumbuh dalam medan mitologis otak kita..

Kau dan aku hanya paket quanta, yang mengalir dalam gelombang waktu, membentuk realitas tunggal bernama alam semesta, yang entah hadir untuk apa.. ada di sana dengan sendirinya.. tak kurang, tak lebih, tak butuh alasan bertele-tele tentang makna adanya dirimu dan adanya diriku.. aku adalah sel yang tumbuh, kau adalah jaringan yang berkembang. Kita hadir dan terlahir dengan bekal nol besar, disusui dan disapih dan menabung ingatan tiap hari. Aku adalah gumpalan materi berupa daging dan darah.. kau adalah kumpulan energi bernama spiritualitas atau psyche atau entah apa.. berdiri di muka bumi berkompromi untuk senantiasa membentuk logika..

Kau dan aku adalah mereka, kita, kami, manusia.. dan kita hidup di titik biru yang pucat.. terdesak dalam energi misterius kegelapan.. sejarah hidup kita sama, jaringan organik kita serupa.. meramu ide dan emosi dalam kumpulan sel kenyal berwarna kelabu, kaya pembuluh darah dan neuroglia.. di sini kita membentuk ego, di sini kita menemukan emosi, mimpi, bahkan cinta.. dengan asupan cairan kental kaya oksigen dan energi, dan enzim kaya protein yang memberi sengatan hormonal untuk jalinan kisah yang lebih rumit dan penuh makna.. inilah kita, hasil evolusi menakjubkan dari satu unsur sederhana bernama hidrogen.. mengapung dalam ruang dan waktu, mengalami milyaran kejadian di antara heningnya ruang kedap udara.. mengantar kita di titik ini, untuk meneruskan sisa perjalanan, yang kelak terbang ringan tanpa beban kesadaran..



Profesi

Profesi. tiga suku kata. Jutaan makna. Ia adalah tujuan, identitas, beban hidup, fasilitas survival, sumber kebanggaan, dan bahkan penggubah makna kehidupan seseorang. Semua manusia modern selalu berasosiasi dengan kata ini, di-enhance dengan perlakuan manusia dewasa saat menginjeksi mimpi anak-anak mereka oleh cita-cita yang menyematkan tag-profesi. Mungkin ini bagian dari konsekuensi kehidupan sosial yang semakin tersistematisasi. Setiap subjek sosial sudah memiliki jalur dan koridornya, kita tinggal mengikuti mekanismenya. Kuliah, sekolah, kursus-kursus, pekerjaan rumah, test dan ujian, saringan kompetitif, dan voila lahirlah ilmuwan-ilmuwan baru, sastrawan-sastrawan mumpuni, dokter-dokter ahli, dan seniman-seniman kreatif.

Kita hanya perlu mengikuti manual, menjejaki apa yang dilakukan generasi sebelum kita, dengan perubahan di sana-sini demi perbaikan sistem, dan tiap kita telah menjadi mur dan baud peradaban, yang dalam gerak mekaniknya memutar kebudayaan manusia untuk turut bergerak seiring laju rotasi bumi, seiring putaran revolusi mentari, membentuk sejarah, mencatat berbagai pencapaian, meninggalkan remah-remah peradaban di tengah kerasnya daratan bumi dan gaung sunyi keluasan ruang kedap udara yang mati.

Tapi tengoklah sejenak, kita telah meninggalkan masa lalu demikian jauh. Melupakan semangat para cendekia di masa lampau, yang hendak mencari tahu, mencipta makna, dan membangun batu-bata peradaban yang penuh suka cita pencarian. Kita berhenti di titik profesi. Menjadi fragmen-fragmen kecil beradaban. Mur dan baud yang berputar dalam lingkaran mekanistik, menunggu ausnya mesin besar kehidupan saat endapan bahan bakar fosil surut dalam tetesan akhir yang diperebutkan, saat es raksasa di sudut paling selatan menggenangi daratan saudara-saudara kita yang berada di barisan terdepan bencana, saat jumlah anak-cucu kita membebani bumi dengan luapan kebutuhan karena kita saling berebut lahan dan pangan yang harus dibagi rata, saat titik setimbang keadilan didesak mekanisme hukum manusia yang kaku-memihak, dipenuhi trik-trik kelabu keserakahan, dan saat segala gelisah diganjar gegap gempita industri hiburan yang memenuhi kebutuhan (semata) insting karnal, kian tersesat dalam keutuhannya padahal kenyataannya sungguh sederhana.

Profesi menuntut kita menghela energi demi malam minggu dengan buku bermutu, atau rehat singkat saat makan siang tiba. Kita mengadu tenaga dan gagasan selama lima hari dan mengeringkan keringat dengan segala ramai hiburan yang mengambang di permukaan kenyataan. Kita sesungguhnya tak pernah berevolusi menjadi manusia kamil yang kaya akan cita-cita pencerahan. Kita berhenti menjadi guru, insinyur, sastrawan, sekretaris, pramugari, pilot, astronot, desainer, dosen, novelis, editor, petani, presiden, politikus, sejarawan, seniman, arkeolog, penyiar, dokter, psikiater.... Kita hanya menjadi atribut bernama profesi...
 

Tidak ada komentar: